Menyoal Tradisi Balimau di Sumatra Barat

Penulis: Habibur Rahman | Editor: Muhammad Fajri

0
Dok : Media Tradisi Balimau

MINANGGLOBAL.ID, – Kita dapat melihat dan bahkan juga tidak menafikan bahwasanya Tradisi Balimau kini mengalami peralihan makna dan tata cara pelaksanaan di tengah-tengah masyarakat Sumatra Barat bisa disebut hal itu terjadi hampir secara keseluruhan. Banyak diantara masyarakat kini mengartikan Tradisi Balimau dengan pergi jalan-jalan bersama keluarga, jadi sebenarnya bagaimana Tradisi Balimau itu?

Tradisi Balimau sendiri merupakan tradisi pembersihan diri yang dilakukan oleh nenek moyang orang-orang Minangkabau terdahulu sebelum memasuki bulan puasa, dalam pembersihan itu mereka mengunakan kasai, yang mana kasai sendiri merupakan media dari racikan bunga aneka ragam dilengkapi dengan jeruk nipis yang menghasilkan bau harum yang khas.

Jadi istilah Balimau yang kita sebut hari ini bukan acara jalan-jalan/mandi-mandi dalam artian sekarang, yang bisa saja membawa diri ke arah perbuatan yang sia-sia bahkan maksiat sekalipun, tapi Balimau dalam konteks sebenarnya, dipahami sebagai tradisi keislaman yang yang melekat pada masyarakat Minangkabau terdahulu. Di samping itu Balimau dilakukan dalam rangka menyambut bulan ramadhan dengan baik, serta kebersihan diri dalam bentuk upaya membersihkan diri zhahir dengan berharum-harum sebelum memasuki prosesi berpuasa.

Kenapa praktek Balimau harus menggunakan Limau? Karena limau, dalam artian jeruk nipis, mempunyai beberapa arti kalau kita tarik dari segi filosofinya. Pertama, Limau dalam arti kebersihan. Kita tahu pada zaman dewasa ini produk pembersih selalu identik dengan jeruk nipis/limau tanpa kita harus menyebutkan merk atau brandnya. Ditambah lagi bahwa tak dapat dipungkiri soal media limau sangat dikenal sebagai media pembersih yang diakui kemanfaatan nya ditengah masyarakat baik itu sejak dulu hingga sekarang. Di ranah Minang pun Limau sebagai suatu pembersih yang alami dan semua orang tahu akan hal itu, mulai dari mencuci tangan, hingga membersihkan piring yang berminyak habis menjadi wadah untuk rendang. Kedua, limau juga masuk pada golongan ramuan obat. Berbagai macam penyakit, mulai dari batuk dan indikasi sakit lainnya banyak menggunakan limau sebagai media utamanya, begitupun juga obat-obatan dalam kedokteran/di ranah farmasi. Di samping itu perlu diketahui bahwa ada beberapa tonggak do’a berbahasa Minang dari orang-orang tua terdahulu di Minangkabau, dan do’a itu disebut atau familiar sebagai Kaji Limau Kapeh, sebagai ruqyah berbagai penyakit, juga menggunakan nama limau dan menggunakan limau sebagai syarat penting pengobatan tersebut. Dua filosofi seharusnya sudah bisa menjawab betapa limau punya titik kebergunaan yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Oleh sebab itu, istilah Balimau yang disematkan pada momentum membersihkan diri sebelum bulan puasa, bisa diartikan dan dimaknai sebagai upaya dalam mengobati jiwa. Bukankah syara’ mengajarkan kita untuk bergembira dan bersenang hati dalam menyambut Bulan yang mulia ini, dan di support dengan keadaan diri yang selalu menuntut kita dalam keadaan bersih dan menjaga kesehatan badan.

Dalam tradisi Balimau, Kasai merupakan ramuan penting, dan tampak jelas bagaimana rupa limau itu. Limau yang akan digunakan membersihkan bagian badan, pun secara abstrak citra dari membersihkan tubuh batin. Racikan beberapa bunga dan dedaunan, menyatu memberikan aroma khas. Pelaksanaan pada tradisi Balimau ini setidaknya sudah memberikan gambaran yang terang benderang bahwa masyarakat Minangkabau paham betul seperti apa kondisinya dalam menyambut bulan suci itu.

Melihat fenomena tersebut, mengajarkan kita bahwa orang-orang terdahulu, yang justru tidak semodern sekarang tetapi sudah berfikir dengan indah dan mengejawantahkannya pada prakterisasi tersebut yang kini kita kenal sebagai Mandi Balimau, dan dapat disebut bahwa mereka melaksanakan petuah-petuah agama dalam kebiasaan dan tradisi mereka. Mereka telah berusaha mengefektifkan anjuran agama dalam lingkungan mereka, sehingga agama itu betul-betul meresap dalam kebiasaan sehari-hari. Alangkah indahnya, dan etnis Minangkabau pada masa lalu sudah berada pada fade itu.

Meskipun tradisi Balimau dan juga Bakasai tidak begitu populer lagi di kalangan masyarakat kita dan mengalami transisi makna dan tata cara pelaksanaan yang diisi dengan kegiatan jalan-jalan beramai-ramai/ mandi-mandi laki-perempuan itu, namun yakinlah disudut-sudut kampung itu masih ada orang-orang tua yang mewarisi praktek Balimau dan Bakasai tersebut meski tak banyak, meski tidak di semua daerah tapi kita tak dapat mempungkiri bahwa di beberapa daerah, kebiasaan ini masih hidup. Ibu-ibu yang hidup dalam kegiatan berdagang dan bertani, berladang, beternak, ketika Ramadhan akan datang, sibuk mencari bunga dan rempah, sebagai penyambut Ramadhan. Bagi mereka tradisi yang baik, yaitu bergembira dengan isyarat kasai dan berharum-harum, tetap mesti tegak, dari pada menggantinya dengan hal-hal yang mungkin sia-sia atau menjurus pada perbuatan yang dilarang agama.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here