Surau Tuo Taram dan Buya Bacukua Sabalah

Penulis: Lutfiyatun Nisak (Mahasiswa KPI UIN SMDD Bukittinggi) | Editor: Habibur Rahman

KHAZANAH1255 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, – Surau Tuo Taram terletak di Jorong Cubadak, Nagari Taram, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota atau tepatnya berada di tepi jalan dekat Bukit Bulek. Taram merupakan pusat peradaban islam tertua di Luhak Limo Puluh (Kab Lima Puluh Kota). Surau Tuo Taram berdiri dan di inisasi oleh seorang ulama yang pada masa sekarang dikenal dengan nama Syekh Ibrahim Mufti.

Di samping itu Apria Putra, MA.Hum seorang filolog kenamaan yang merupakan dosen UIN Sjech M. Djamil Djambek memiliki pendapat berbeda soal nama ini, setelah melakukan pendalaman yang panjang, beliau menyebut bahwa ternyata belum ada informasi valid soal nama asli beliau, perihal nama Tuangku Syekh Kharismatik Nagari Taram tersebut, tetapi ia juga tidak menafikan bahwa tentu ada latar belakang yang menyebabkan nama Ibrahim Mufti tersebut muncul, yang akhirnya disandarkan padanya hingga sekarang.

Ia melanjutkan, bahwa begitu pentingnya pencatatan sejarah, arsip, dan penulisan ulang untuk generasi selanjutnya, berkaca pada banyak hal yang telah terjadi. Bukankah beranjak dari nama ini kita berwasilah? Dan dari nama ini pula kita mengenal ruh yang bertali-tali itu? Jika nama tak dikenali, pusara dilupakan, dan riwayat diabaikan, kemana kita akan bertali-tali, tutup pria yang kini sedang menuntaskan pendidikan doktorral tersebut.

Melanjutkan manaqib beliau. Ulama yang digelari oleh masyarakat dengan Buya Bacukua Sabalah, dahulunya ada peristiwa yang melatarbelakanginya hingga ia digelari dengan gelar itu. Pada suatu ketika dalam riwayat yang banyak dijumpai bahwa disebutkan ia tengah mencukur rambutnya, dan diwaktu yang bersamaan beliau mengetahui bahwa di Mekkah sedang ada kebakaran disekitaran kakbah, tanpa berfikir panjang beliau menyalakan api dan ada riwayat lain menyebutkan beliau terlihat oleh warga berada di pinggiran kolam seperti sedang menyiram sesuatu, dan riwayat lain menyebut beliau tiba-tiba menghilang.

Setelah itu, selang 3-4 jam beliau kembali ke surau dan berkata kepada orang-orang jika ia baru pulang dari Mekkah dan ikut memadamkan kebakaran. Jika dipikir melalui logika, hal ini tentu tidak masuk kedalam akal manusia. Namun, bagi seorang yang dekat pada Allah dan dianugerahi karomah oleh Allah hal tersebut tentu menjadi hal yang bisa saja terjadi meski tak tembus oleh akal sehat manusia, dan peristiwa tersebut kabarnya didukung dengan banyaknya saksi mata jamaah asal Indonesia yang kala itu berada disana, bahwa ada seorang pria paruh baya dengan kondisi rambut tercukur sebelah tengah ikut memadamkan api di dekat Kakbah, yang akhirnya membuat cerita ini diwarisi hingga generasi sekarang di Lima Puluh Kota dan juga Payakumbuh.

Di samping itu, literatur yang beredar mengindikasikan bahwa beliau bukanlah orang asli Minangkabau, namun beliau berasal dari Palestina, salah satu Negara yang terletak di Timur Tengah. Ketika kedatangannya di Nusantara ia tidak langsung ke Taram. Namun, beliau singgah ke Aceh bersamaan dengan kedatangan Syekh Abdurrauf As-Singkili ulama Aceh yang namanya harum hingga saat ini. Kemudian beliau singgah ke wilayah Siak, Provinsi Riau. Terakhir, barulah beliau mengakhiri perjalanan di Nagari Taram, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatra Barat. Surau yang disebut sebagai Surau Tuo Taram ini, bahkan disebut sebagai pusat peradaban islam di Ranah Minang pada abad 19-20 yang bahkan menurut seorang sarjanawan asal Belanda Surau Tuo Taram memiliki pengaruh yang pesat serta jumlah murid yang mendominasi ketimbang 14 surau besar lainnya di Sumatra Barat, pada masanya.

Menurut cerita turun temurun, Surau dibangun tidak menggunakan batu bata dan semen. Namun Surau dibangun menggunakan air, batu, dan campuran putih telur untuk menjadi bahan perekatnya. Diketahui ketebalan bangunan Surau Tuo Taram mencapai 25 cm. Hal ini sangat jauh berbeda dengan bangunan yang da di zaman sekarang yang hanya mempunyai ketebalan 10 cm.

Syekh Ibrahim Mufti mempunyai 2 orang istri. Istri pertama berada di Taram dan istri keduanya di Kapalo Banda. Namun, identitas kedua istrinya masih samar hingga sekarang, dan dikabarkan beliau dikaruniai 2 orang anak, yaitu Syekh Muhammad Nurdin dan Syekh Muhammad Jamil, yang konon berdasarkan cerita yang diyakini warga Nagari Taram, pendiri Surau Tuo Taram ini menghilang. Saat itulah anaknya Syekh Muhammad Nurdin mencari ayahnya ke Irak. Namun, dalam perjalanan ia meninggal dunia dan jasadnya dimakamkan di sekitar Surau Tuo Taram.

Setelah itu, banyak orang yang mencari keberadaannya, namun tak kunjung bertemu. Kemudian salah satu murid dari Syekh Kharismatik Taram ini bermimpi bertemu dengan beliau. Dalam mimpi tersebut, sang Syekh berpesan “Jangan pernah mencari saya, karena saya sudah tiada. Tunggulah di malam 27 rajab, jika kalian melihat cahaya, maka disanalah saya dikubur.” Sehingga pada malam 27 Rajab para murid dari Surau Tuo Taram menunggu kedatangan sang guru yang berupa cahaya sebagaimana yang sudah disampaikan lewat mimpi. Saat seluruh murid sudah berkumpul, mereka sama-sama melihat ada cahaya dari dalam tanah yang tembus ke atas langit. Cahaya itu bersumber dari sebuah tanah yang berada tidak jauh dari kaki Bukik Bulek Taram. Saat pagi hari, ditemukan ada kuburan baru yang terletak di sumber cahaya tersebut. Sejak itulah sang murid dan warga setempat meyakini kuburan tersebut adalah makam sang Syekh yang sebelumnya menghilang.

Jikalau kita berbicara destinasi ziarah di Sumatra Barat, pasti Surau Tuo Taram merupakan salah satunya, terlebih saat memasuki bulan Ramadhan, sudah begitu tradisinya dari sejak dahulu. Orang-orang tarekat khususnya tarekat Syattariyah dan Naqsabandiyah seantero Sumatra Barat ramai untuk berziarah ke Surau Tuo Taram, dan selalu menjadi destinasi wajib setelah Ulakan di Pariaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *