MINANGGLOBAL.ID, – Seharusnya “Ramadhan” membuat kita semakin zuhud; semakin hidup sederhana. Namun di sebuah kampung, “Ramadhan” menjadi ajang melepas selera, menunjukkan seberapa glamor diri, dan kemewahan. Sehingga, sementara orang kampung itu “takut” bila “Ramadhan” datang, takut biaya yang akan dikeluarkan untuk memenuhinya.
Seharusnya, bila “Ramadhan” akan datang, muslimin mulai bersiap-siap membersihkan diri, tidak banyak keluar rumah untuk menjaga pandangan dan nafsu. Namun disebuah kampung, bila “Ramadhan” akan datang orang-orang pada sibuk keluar rumah, kembali melepas selera, melepas asmara bagi yang tergila-gila dengan lawan jenis, makan besar, dan lain-lainnya. Sehingga orang-orang lupa bahwa “Ramadhan” adalah bulan riyadah, melatih diri, melawan nafsu. Sebab nafsu betul yang diperturutkan. Dalih semuanya adalah “balimau”.
Seharusnya, dalam “Ramadhan”, muslimin banyak-banyak beribadah, bukan gagah-gagahan. Namun di sebuah kampung, orang-orang lebih banyak duduk bercerita, dan memilih ibadah yang enteng, sehingga lupa bahwa “Ramadhan” adalah bulan menempa jiwa dengan ubudiyah.
Seharusnya, malam-malam “Ramadhan” ialah tempat menggembleng generasi muda dalam ibadah. Namun di sebuah kampung, malam-malam “Ramadhan” dijadikan ajang membuka pintu bagi remaja-remaja, dengan dalih rapat lomba, sampai tengah malam laki-laki perempuan saling bercerita bersenda gurau di dalam tempat ibadah.
Seharusnya, Idul Fitri ialah waktu kita banyak ibadah. Malam Idul Fitri diantara malam yang semestinya diisi dengan ubudiyah. Namun di satu kampung, malam-malam sebelum Idul Fitri sudah diisi dengan hal keduniawian. Idul Fitri semata-mata dunia; kembali melepas selera, memenuhi nafsu, kembali seperti sedia kala. Maka “Ramadhan” pergi, kita tak dapat apa-apa, kecuali uang habis, lelah badan, dan letih fikiran.
Saya salut dengan orang-orang di surau, di kampung saya. “Ramadhan” diisi betul dengan khitmat. Belum “Ramadhan”, Rajab sudah dimulai dengan ibadah, persiapan. Pas Ramadhan akan menghampiri, mereka melaksanakan tradisi “balimau yang hakiki”, membersihkan diri, bukan mengotori diri. Mereka berkumpul di surau, tausiyah dibaca, berdo’a selamat karena hari baik bulan baik, makan bersama tanda syukur, lalu bermaaf-maafan. Ramadhan, mereka bersunyi-sunyi diri dengan Allah, dalam ibadah. Solat Tarawihnya 20 rakaat. Tidak mereka memilih dari yang enteng. Berbuka dengan sederhana, sebab melatih diri. Tidur dikurangi dengan zikir dan tadarus al-Qur’an. Malam Idul Fitri mereka isi dengan ibadah. Tidak mereka terlena oleh dunia yang semakin indah ini. Idul Fitri diisi dengan silaturahmi. Baju tak perlu baru, namun wajah berseri. Hidup diisi dengan kesederhanaan, hati senang, jiwa bersih, “Ramadhan” membawa berkah. Mereka lah orang-orang yang menang itu.