‘Serangan Fajar’ Politik Kumuh dan Perusak Moral Masyarakat

Penulis: Nurul Fatimah (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN SMDD Bukittinggi)

OPINI170 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, Opini – Serangan Fajar Menurut Pusat Edukasi Antikorupsi KPK dalam situsnya, adalah pemberian uang, barang, jasa, atau materi lainnya yang bisa dikonversi dengan nilai uang di tahun politik atau saat kampanye menjelang pemilu. Beberapa contoh materi lain yang bernilai uang antara lain sembako, voucher pulsa, dan bensin. Jadi dapat dikatakan bahwa serangan fajar adalah kegiatan pemberian uang, barang, jasa atau materi lainnya dari orang-orang yang membutuhkan suara dalam pemilihan dan biasanya terjadi menjelang ‘fajar atau pagi’.

Mengikis moral sebagai masyarakat demokrasi, merupakan salah satu contoh dampak dari serangan fajar ini, banyak masyarakat yang menerima uang tersebut lalu memilih pasangan politik yang telah ditentukan, hilangnya kejujuran dan keadilan dalam diri masyarakat yang seharusnya memilih karena hati nurani mereka sendiri. Ironisnya kegiatan tersebut banyak sekali terjadi baik menjelang pilkada atau pemilu, data dari website databoks.katadata menyatakan Proporsi Responden yang menerima Serangan Fajar Berdasarkan Capres-Cawapres mencapai 21,1 % dari pasangan Ganjar- Mahfud, menyusul Prabowo gibran 20,8% dan terakhir Anies Muhaimin 16,9% pada Pemilu 2024 lalu.

Kegiatan pemilu seharusnya menjadi puncak dari demokrasi itu sendiri, tidak menjadi kesempatan untuk menjadikan hal tersebut sebagai ajang ‘pamer uang’.

Disisi lain, kegiatan ini menyalahi aturan dari pilkada atau pemilu itu sendiri. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) yang bunyinya sebagai berikut: “Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Jadi pemilu itu haruslah berasaskan luber dan jurdil, dimana salah satu dari asas tersebut adalah jujur. Jujur artian disini adalah memilih calon politik berdasarkan hati nurani, tanpa adanya paksaan ataupun tekanan dari pihak lain. Berangkat dari asas tersebut ‘serangan fajar’ sangatlah bertolak belakang dengan aturan tersebut, hati nurani rakyat tidak bisa dibeli dengan uang, ataupun disamaratakan dengan uang, hati nurani itu lahir dari perasaan yang rasional dan tubuh manusia itu sendiri. (NF)

Calon pejabat politik harus menanamkan sikap kejujuran dan keadilan, mereka akan menjadi pemimpin suatu saat nanti,  proses awal akan menentukan akhirnya. Pepatah minang mengatakan  “Adat biaso kito pakai, limbago nan samo dituang, nan elok dipakai nan buruak samo dibuang” maksudnya sesuatu yang buruk itu harus dibuang jauh-jauh karena akan merugikan kita, contohnya disini membeli suara dengan materi.

Sebuah keteladanan dalam memimpin dapat kita lihat pada khalifah Abu Bakar as-shiddiq, setelah sesaat terpilih menjadi khalifah, beliau langsung melakukan pidato dan mengatakan bahwa dirinya merasa jabatan yang diterimanya ini adalah beban yang amat berat dan tidak akan sanggup dipikul kecuali dengan pertolongan Allah SWT. Menjadi Pemimpin adalah sebuah tanggung jawab yang besar, bahkan beliau menyebutkan ‘tanpa pertolongan Allah SWT tidak akan bisa dipikulnya’, betapa beratnya tugas seseorang dalam memimpin, seelok sahabat rasulullah saja mengatakan hal seperti itu.

Fenomena Serangan fajar akan tetap berlangsung apabila masih ada yang mau menerima uang tersebut. Calon tokoh politik memberi karena ada yang mau menerima. Kita sebagai masyarakat tidak bisa menyalahkan mereka saja, diperlukan intropeksi dari diri  sendiri. Serangan Fajar sangat berdampak moral bagi masyarakat dan menyalahi aturan itu sendiri. Sebaiknya sebagai masyarakat Kita tidak menerima ‘manfaat’ dari ‘kegiatan’ tersebut, karena hal ini dapat menganggu jalannya demokrasi di negara kita ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *