MINANGGLOBAL.ID, Opini – Fenomena kotak kosong kembali terulang lagi pada kontentasi pilkada serentak 27 November 2024, meskipun fenomena ini tidak menjadi hal yang baru lagi dalam perhelatan pesta demokrasi lima tahunan rakyat Indonesia. Fenomena kotak kosong ini pertama kali terjadi pada pilkada pada tahun 2015 setelah Mahkamah Konsitusi RI mengeluarkan keputasan bahwa pilkada tetap berjalan walaupun hanya di ikuti oleh satu pasangan calon, Dimana dalam putusan tersebut MK juga menambahkan alternatif dengan memberikan istilah kotak kosong. Kerena itulah disetiap pilkada yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pasti ada saja calon Tunggal yang mengikuti kontestasi tersebut. Pada tahun 2024 ini saja menurut data dari KPU RI ada 41 daerah yang mengalami fenomena kotak kosong.
Fenomena kotak kosong merupakan sebuah bentuk merosotnya demokrasi di Indonesia, Kerana banyak yang dirugikan dalam peristiwa ini diantaranya adalah para calon potensial yang ingin mencoba mengikuti kontestasi pilkada yang dilakukan, mereka tidak dapat menyalurkan hak nya sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih, karena mereka keterbatasan dukungan dari partai politik. Menurut pakar politk Universitas AL AZHAR Indonesia Ujang Komarudin keberadan fenomena kotak kosong akan memudarkan demokrasi karena tidak memberikan kesempatan kepada calon pemimpin yang berprestasi “Anak-anak bangsa yang berperstasi dan bagus tak diberi kesempatan untuk bisa memimpin daerah karena calonya Cuma satu” seperti dikutip dari Tempo.
Fenomena calon tunggal ini juga disebabkan partai politik yang masih kelelahan dalam menghadapi pilleg pada bulan Februari 2024 yang lalu, karena banyak anggaran yang harus di keluarkan partai politik dalam kontestasi tersebut, yang menyebabkan partai politik lebih memilih untuk menyatukan dukungan kepada salah satu calon kepala daerah yang diusung oleh partai lain. Fenomena kotak kosong ini juga disebabkan oleh mahalnya biaya yang di keluarkan oleh calon kepala daerah, untuk maju dalam ajang kontestasi pilkada, yang menyebabkan para calon mempertimbangkan lagi untuk maju sebagai kontestan pada ajang pilkada.
Pilkada sejatinya merupakan amanat dari perjuangan panjang para tokoh reformasi ,dimana para tokoh reformasi telah bersusah payah dalam menegakkan demokrasi dari kelamnya masa orde baru, sekarang pilkada justru diancam dirusak oleh para elit politik dengan cara mengarahkan dukungan kepada salah satu pasangan calon saja. Partai politik sekarang hanya memikirkan kepentingan partainya dan golonganya saja, tampa memikirkan pemimpin seperti apa yang diinginkan oleh rakyat.
Demokrasi sejatinya sebagai wadah bagi masyrakat untuk dapat menyalurkan aspirasi mereka, dengan diberi ruang untuk dapat memilih dan menolak calon pemimpin yang mereka sukai ataupun calon yang mereka tidak sukai. Sekarang masyarakat justru dihadapkan antara dua pilihan yaitu dengan memilih calon yang mereka tidak kenal atau dengan memilih kotak kosong.
Jika fenomena ini terus berlanjut maka akan berdampak kepada menurunnya partisipasi Masyarakat dalam menyalurkan suara mereka. Pada pilkada Dhamasraya yang juga diikuti hanya satu pasangan calon saja atau melawan kotak kosong presentasi pemilih yang menggunakan hak suaranya hanya sebesar 56,64%. Ini menunjukkan bahwa pilkada tidak lagi menjadi hal yang menarik perhatian Masyarakat, dimana dulu Masyarakat menantikan pesta demokrasi ini sebagai sarana bagi mereka untuk menyalurkan aspirasi mereka untuk menentukan siapa yang layak menjadi menjadi pemimpin di daerah mereka. Sekarang masyarakat lebih memilih untuk tidak menggunakan hak suranya untuk menentukan pemimpin daerahnya.Masyarakat beranggapan bahwa pilkada yang diadakan tidak lagi berpihak kepada mereka, masyarakat perpandangan bahwa pilkada hanya untuk kepentingan sebuah golongan saja. (If)