MINANGGLOBAL.ID, Opini – Ada hal yang menarik sekaligus sedikit menggelitik dari fenomena yang terjadi setiap kali mahasiswa akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bukan soal program kerja, bukan juga strategi pemberdayaan masyarakat. Justru yang paling awal dan paling hangat dibicarakan oleh sebagian besar kelompok KKN adalah “Baju Seragam”, Ya! (baju KKN) lengkap dengan desain, warna, perlengkapan lainnya, bahkan sering kali sampai ke vendor mana yang akan dipilih untuk memesannya.
Padahal, jika kita mau merenung sejenak, KKN bukan hanya singkatan melainkan mahasiswa diminta untuk belajar secara langsung di lapangan, berada di tengah-tengah masyarakat, mengamalkan ilmu, serta menjadi jembatan antara dunia akademik dan realitas sosial. Menurut hemat penulis yang seharusnya dipersiapkan dengan matang bukanlah baju ataupun atribut penunjang identitas, melainkan pikiran, gagasan, dan program-program yang menyentuh akar permasalahan masyarakat.
Kampus saja tidak mewajibkan membeli baju dan memakai seragam demi menunjukkan identitas kita sebagai mahasiswa. Kampus hanya mewajibkan almamater. Lalu! kenapa dalam KKN justru kita merasa sangat membutuhkan baju baru hanya untuk menunjukkan dari kelompok mana kita berasal? Bukankah almamater sudah cukup menjadi penanda institusi? Ataukah kita mulai terjebak dalam keinginan simbolik yang justru mengaburkan esensi?
Ini adalah persoalan mendasar yang menunjukkan adanya kekeliruan dalam membedakan antara kebutuhan dan keperluan. Membuat baju seragam bukanlah kebutuhan utama dalam KKN, tapi lebih kepada keperluan simbolik yang sebenarnya bisa disiasati. Saya melihat ada semacam urgensi palsu yang dibentuk oleh kebiasaan dan tekanan sosial di antara mahasiswa sendiri.
Dalam konteks inilah, penulis ingin mengajak kita semua kembali pada pemikiran Bung Karno, yang dalam buku Sarinah menekankan pentingnya pencerdasan masyarakat sebagai bagian dari perjuangan bangsa. Bung Karno berbicara tentang pejuang-pemikir, pemikir-pejuang, dua sisi dari satu mata yang mengisyaratkan bahwa kita, kaum intelektual muda, tidak cukup hanya berpikir, tapi harus juga berjuang. Tidak cukup hanya bergerak, tapi juga harus punya kesadaran kritis dalam setiap tindakan kita.
Mahasiswa sebagai agen perubahan seharusnya tidak menjadikan baju dan atribut lainnya sebagai simbol utama perjuangannya untuk menyatu dengan masyarakat. Simbolisme tanpa substansi hanya akan menjadi kulit tanpa isi. Lebih baik kita fokus pada bagaimana merancang program KKN yang mampu meningkatkan kehidupan masyarakat, memberikan solusi dari keresahan mereka, dan membangun semangat kolektif yang berkelanjutan meski hanya sedikit perkembangan setidaknya ada perubahan.
Membuat baju KKN bukanlah hal yang salah. Namun, mari kita letakkan ia pada posisi yang proporsional: sebagai pelengkap, bukan sebagai prioritas utama. Justru dengan minimnya atribut, kita bisa menunjukkan bahwa mahasiswa hadir bukan untuk pamer identitas, tapi untuk memberi manfaat. Identitas sejati kita bukan terletak pada warna baju atau atribut lainnya, tetapi pada seberapa besar kontribusi yang kita berikan.
Sebagai penutup, sudah saatnya kita menyadari bahwa KKN adalah ruang perjuangan intelektual yang sesungguhnya. Di sana, kita diuji bukan dengan tugas tertulis, tapi dengan realitas masyarakat. Mari kita menjadi pemikir-pejuang yang tidak hanya memikirkan apa yang dipakai, tapi lebih dalam, apa yang bisa diberikan. Sebab, perjuangan tidak selalu butuh seragam, tapi selalu butuh kesadaran. (BFA)