Eleonora: Tonggak Terakhir Kekayaan Literasi Payakumbuh

Penulis: Apria Putra, MA.Hum (Filolog dan Dosen UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi) | Editor: Habibur Rahman

MINANGGLOBAL.ID, Sumbar – Payakumbuh, Setelah berbilang masa, sampailah saya di percetakan Eleonora Payakumbuh. Saya disambut oleh anak pendiri percetakan/penerbit ini, Bapak Sadli (67 tahun). Setelah memperkenalkan diri, dan beramah tamah soal mengapa laki-laki berkaca mata hitam ini datang masuk gang sempit di antara bangun bertingkat di pusat Kota Payakumbuh itu, Bapak Sadli bercerita soal Eleonora, Ayahnya, dan Masyumi, sambil membakar rokok ditangannya. Ia bercerita betapa semangatnya ayahnya, H.M. Darmansyah Thaher (w. 1996), merintis percetakan dan mencetak buku-buku di Payakumbuh.

Adalah suatu ketika H.M. Darmansyah Thaher mengikuti kongres Masyumi di Jawa. Dalam masa itu beliau melihat aktivitas percetakan, dan dari situ ia bercita-cita mendirikan percetakan. Maka di awal 1950-an berdirilah Eleanora, yang lokasi awalnya di Labuah Baru Payakumbuh. Percetakan ini tercatat menerbitkan buku-buku pujangga, ahli adat, dan ulama, seperti tulisan-tulisan Natsir, Hamka, Bahar Datuk Nagari Basa.

Dari segi berdirinya percetakan ini, jelas Eleonora berdiri pada masa dimana boleh dikatakan awal riwayat Indonesia. Eleonora berdiri dan eksis jauh setelah percetakan-percetakan legendaris Payakumbuh seperti Drukkerij Limbago dan Drukkerij Orang Alam Minangkabau. Namun masa itu masih bisa disebut zaman kejayaan literasi di Minangkabau. Payakumbuh menjadi salah satu pusat penerbitan buku dan kitab, setelah Bukittinggi dan Padangpanjang. Zaman dimana buku sangat berharga, dan orang yang membaca buku mendapat tempat sangat baik dalam perjuangan.

Niat awal ke Eleonora, selain hobi sejarah, juga dalam mencari buku-buku Bahar Datuak Nagari Basa, salah satu penghulu di Koto nan Ampek yang sangat intelek. Hemat saya sosok ini ialah orang yang berjasa merekam ilmu adat yang diterimanya dari Datuk Paduko Sati, berhulu dari Datuak Paduko Alam, Filsuf penulis Rancak di Labuah itu, bersilsilah kepada “Baliau di Sumanik”. Bahasanya indah, sesuai adat tuturan orang Minang. Makna kalimatnya dalam dan menusuk hati. Ia mencetak buku-bukunya di Eleonora pada 1960-an.

Semoga catatan ini menjadi tadzkirah bahwa Payakumbuh bukan hanya dikenal lewat kulinernya, suasana alamnya, keheningannya, tapi juga sebagai tonggak kejayaan dan kekayaan literasi di masa lampau. Satu masa, ketika disebut Payakumbuh, orang-orang akan mengingat Limbago, Percetakan Alam Minangkabau, dan Eleonora, serta penulis-penulis yang karam ma’syuk dan berzikir dengan kertas dan pena.

Pada akhirnya kita mengenal Eleonora bukan hanya sekadar nama sebuah percetakan tua di jantung Payakumbuh; ia adalah saksi sunyi dari masa ketika aksara masih dijunjung seperti pusaka, dan para penulis menjelma perindu yang merapal makna dalam senyap tinta. Dalam debu rak dan aroma kertas usang, tersembunyi denyut intelektual Minangkabau yang pernah bergema sampai ke rantau. Kini, mungkin suara itu telah lirih, namun gema Eleonora masih memantul di benak siapa pun yang percaya bahwa literasi adalah cahaya peradaban. Semoga kisah ini menghidupkan kembali memori kolektif kita tentang kota yang dahulu menulis sejarah, bukan hanya menyimpannya.

Penulis: Apria Putra, MA.Hum (Filolog dan Dosen UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *