MINANGGLOBAL.ID, Opini – Raja Ampat, yang dikenal sebagai surga bawah laut dan ikon pariwisata Indonesia, kini menghadapi ancaman serius dari ekspansi pertambangan nikel. Meskipun hanya satu perusahaan yang saat ini beroperasi, yaitu PT Gag Nikel, terdapat lima perusahaan lain yang telah mengantongi izin, termasuk PT Mulya Raymond Perkasa yang berencana memulai operasi di Pulau Manyaifun Batang Pele pada 2025 (sumber: Tempo). Kehadiran industri tambang ini menimbulkan kekhawatiran mendalam terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Aktivitas pertambangan di Raja Ampat telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Deforestasi dan sedimentasi akibat pembukaan lahan tambang mengancam ekosistem laut yang kaya, termasuk terumbu karang dan mangrove yang vital bagi keanekaragaman hayati. Limbah tambang yang mengalir ke laut menyebabkan pencemaran, mengganggu kehidupan biota laut, dan berdampak pada mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada perikanan dan pariwisata.
Selain itu, masyarakat adat, seperti Splluku Kawei, telah menyuarakan penolakan terhadap eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat yang dianggap merusak tanah ulayat mereka dan mengancam keberlanjutan budaya serta ekonomi lokal. Mereka menuntut transparansi dan keadilan dalam pembagian hasil tambang serta perlindungan terhadap hak-hak adat yang selama ini terabaikan.
Pemerintah pusat dan daerah telah mengeluarkan izin pertambangan di wilayah yang seharusnya dilindungi, termasuk kawasan konservasi dan UNESCO Global Geopark. Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen dalam menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal. Meskipun ada klaim bahwa pertambangan akan dikelola secara berkelanjutan dan adil, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, dengan kerusakan lingkungan yang terus terjadi dan minimnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat setempat.
Raja Ampat adalah warisan alam yang tak ternilai, bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga dunia. Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk melindungi kawasan ini dari eksploitasi yang merusak. Sudah saatnya kebijakan pembangunan berpihak pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, bukan pada kepentingan jangka pendek yang mengorbankan masa depan generasi mendatang.
Pemerintah perlu segera memberlakukan moratorium izin tambang di kawasan Raja Ampat, terutama di wilayah konservasi dan adat, sembari mengevaluasi seluruh izin yang telah dikeluarkan dengan prinsip transparansi dan partisipasi masyarakat lokal. Selain itu, pendekatan pembangunan harus diarahkan pada penguatan ekonomi berkelanjutan, seperti pariwisata berbasis komunitas dan perlindungan ekosistem laut, yang terbukti memberikan manfaat jangka panjang tanpa merusak alam. Pengakuan atas hak masyarakat adat juga harus ditegaskan melalui kebijakan yang melibatkan mereka secara aktif dalam pengambilan keputusan, agar kedaulatan mereka atas tanah ulayat tetap terjaga dan dihormati. (BFA)