MINANGGLOBAL.ID, SUMBAR – Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi 12 Agustus 1902, diberi nama Muhammad Athar oleh ibunya Siti Saleha. Ketika mulai belajar berbicara, Athar kecil tidak bisa menyebutkan namanya dengan benar. Saat menyebutkan Athar yang terdengar Hatta, maka nama itupun melekat hingga dewasa dengan nama “Mohammad Hatta”seperti yang kita ketahui saat sekarang ini.
Bukittinggi adalah sebuah kota kecil yang terletak di tengah-tengah dataran tinggi Agam di Sumatra Barat. Letaknya diujung kaki Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Disebelah utaranya melingkar cabang-cabang Bukit Barisan. Antara Bukittinggi dan Gunung Singgalang terbentang Ngarai yang dalam dan elok pemandangannya. Agak jauh di sebelah barat laut tampak pula Gunung Pasaman yang kesohor sebagai gunung yang mengandung emas dalam hikayatnya.
Anak dari pasangan Mohammad Djamil dan Siti Saleh ini merupakan sosok penting, tokoh bersejarah dalam kemerdekaan Republik Indonesia. Perjalanan hidup Hatta turut membentuk pondasi berharga, walaupun tidak dituliskan dengan tinta emas, akan tetapi, bagaimana sosok Mohammad Hatta dalam ingatan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Minangkabau.
31 Oktober lalu, penulis melakukan penelitian pada beberapa tempat yang menjadi saksi bisu dalam perjalanan hidup Mohammad Hatta. Penulis menemukan indikasi serta menyimpulkan, kurangnya minat masyarakat setempat untuk melihat napak tilas sosok Bung Hatta. Perlu dipertanyakan kembali pada generasi Minang, jika terbukti Mohammad Hatta hanya tinggal sebuah nama, apakah kita tega melupakan sosok Mohammad Hatta yang telah menghidupkan perjuangan dan cahaya peradaban Indonesia? Maukah kita membuat Mohammad Hatta harus merasakan kematian untuk kedua kalinya? Mematikan eksistensi Hatta dalam ingatan generasi Minang.
Hal itu tersebut lah yang memantik diri penulis untuk mengangkat judul “Kematian Mohammad Hatta untuk Kedua Kalinya”
Mohammad Hatta, siapa yang tak tahu sosok beliau? Religius, disiplin, dan sederhana merupakan aspek penting yang tidak terlepas ketika membahas bapak proklamator berdarah Minangkabau ini. Pria kelahiran Bukittinggi ini merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, kecintaan beliau terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibuktikan dengan ungkapannya “aku tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka”.
Kecintaannya terhadap tanah air khususnya Minangkabau selalu dijadikan identitas yang selalu dijaga dan dipakainya. Misalnya dalam berbahasa, Mohammad Hatta menggunakan Bahasa Indonesia yang diadopsi dari bahasa Minang. Dalam beberapa ungkapan kata-kata yang sering diucapkannya jelas sekali bahwa kata tersebut adalah bahasa Minang yang di Indonesia kan. Seperti ungkapan yang disebutnya, sebagai makan pagi, dan makan siang sebagai makan tengah hari, di Minangkabau tidak lazim orang menyebut kata sarapan, sehingga sarapan di Minang hanya disebut makan pagi. Sedangkan makan yang dilakukan pada saat tengah hari, mulai dari pukul sebelas hingga waktu zuhur atau makan siang. Hingga kini ungkapan tersebut masih dipakai oleh Sebagian Masyarakat Minangkabau.
Seperti halnya pengakuan hatta, Ketika Bersama dr. Soetomo sewaktu di Belanda, dalam buku otobiografinya yang berjudul Untuk Negriku jilid 1, terbitan Kompas tahun 2011.
“mula-mula kuikuti cara dr. Soetomo makan, kecuali makan pagi, aku tetap makan roti dengan sebutir telur setengah matang. Tetapi, tengah hari dan malam makan nasi. Hanya seminggu aku sanggup mengikuti dr. Soetomo makan. Tiap hari sesudah makan nasi tengah hari aku mengantuk, tidak bisa lancar belajar. Sesudah seminggu kukatakan padanya bahwa aku tidak mampu makan nasi dua kali sehari. Mungkin kalau aku sore hari tidak studi, makan nasi tengah hari itu tentu enak sekali.”
Kentalnya perbendaharaan bahasa Minang di dalam buku tersebut mengindikasikan bahwa Hatta tidak dapat jauh-jauh dari ranah Minang meskipun sudah sampai ke Belanda, akan tetapi apa yang terjadi di Belanda masih diungkapkannya menggunakan bahasa Minang. Meskipun terbilang lucu, karena hal ini juga sering anak muda Minangkabau ucapkan hingga saat ini. Contohnya seperti:
“lai ada tugas awak bisuak kawan?”. “indak ada tugas bisuak kawan, aman saja”.
Percakapan seperti tidak asing didengar dari mahasiswa Minang. Namun, percakapan itu lebih mengarah pada bercanda atau cemoohan. Sehingga jarang sekali anak muda sekarang, yang membawa bahasa Minang ke dalam bahasa Indonesia, dalam konteks yang serius. Jika dilihat dari sudut pandang Hatta dalam menulis, sebetulnya hal demikian bukanlah lelucon atau akal-akalan untuk membuat orang tertawa. Akan tetapi, Hatta menuliskannya sebagai suatu identitas yang melekat pada dirinya dan tidak ada pada orang lain.
Monumen Mohammad Hatta yang terletak tidak jauh dari Jam Gadang Bukittinggi terlihat sepi pengunjung, baik itu saat hari libur ataupun hari biasa. Begitu juga dengan museum rumah kelahiran Mohammad Hatta, pada saat penulis melakukan penelitian tanggal 31 oktober 2023 lalu hanya ada satu rombongan yang berisikan sekitar sepuluh orang pengunjung yang berasal dari Yogyakarta untuk melihat rumah kelahiran Mohammad Hatta. Dari buku tamu yang penulis amati hanya beberapa orang pengunjung yang berdomisili Sumatra Barat dan itu untuk kepentingan. Tidak ditemukan keluarga yang sengaja mengunjungi museum tersebut untuk mengajarkan sejarah kepada anak-anaknya pada waktu libur sekolah. Tidak terlihat anak muda yang mengunjungi museum tersebut dengan tujuan ingin menambah wawasan tentang Mohammad Hatta.
Kurangnya rasa ingin tahu perihal sosok Mohammad Hatta hampir ditemukan pada kebanyakan masyarakat setempat. Seharusnya pemerintahan setempat memberikan perhatian khusus akan hal ini. Berusaha untuk menindak lanjut agar generasi Minangkabau tidak tergerus oleh pengaruh zaman. Menurut pendapat penulis, hal ini dapat dimulai dari mengadakan program belajar yang menyertakan Mohammad Hatta dalam materi pembelajaran. Karena dengan adanya pelajaran yang membahas terkait Mohammad Hatta secara mendalam, tentunya akan menumbuhkan rasa ingin tahu pada generasi Minangkabau selanjutnya. Sangat disayangkan jika Mohammad Hatta yang menjunjung tinggi identitasnya sebagai seorang yang berdarah Minangkabau tidak mempunyai cikal bakal penerus yang akan melanjutkan estafet perjuangannya, penulis menyimpulkan bahwa kurangnya kesadaran masyarakat Minangkabau untuk meneladani karakter Mohammad Hatta. Masyarakat Minangkabau sudah terpengaruhi oleh kecanggihan teknologi di zaman sekarang, dengan masuknya budaya-budaya barat sehingga menghilangkan identitasnya sebagai etnis Minangkabau
Pria pendiam tapi pemikir itu sudah lama tiada, namun semua pemikiran dan kisah perjuangannya telah menjadi sebuah rangkuman pelajaran berharga yang tak ternilai. Sikap yang tercermin dalam dirinya menjadikannya sebagai teladan karakter, sampai kapan pun. Semangat juang yang dimilikinya menjadi amunisi bagi remaja saat ini, untuk terus melanjutkan perjuangan sang proklamator.