MINANGGLOBAL.ID, KAMPUS – Perkembangan hukum Islam di Indonesia dan masyarakat umumnya punya peluang cerah dalam pembangunan hukum Nasional. Secara sosioantroplogis dan emosional, hukum Islam sangat dekat dengan masyarakat, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Selain itu secara historis hukum Islam telah dikenal jauh sebelum adanya sistem hukum lain di masyarakat Indonesia. Hukum Islam juga responsif dengan realitas sosial, khususnya fenomena sosial di era disrupsi ini. Era disrupsi yang ditandai dengan pergeseran aktivitas manusia yang semula dilakukan di dunia nyata ke dunia maya menghadapkan hukum Islam dengan realitas sosial yang menuntut legalitas syari’at. Karenanya, pakar hukum Islam dan ulama mesti memahami realitas sosial sebelum merelevansikannya dengan hukum Islam. Demikian diantara butir rekomendasi yang ditelorkan The 2nd International Conference on Islamic Law (Konferensi Internasional Kedua tentang Hukum Islam) yang digelar secara virtual oleh Fakultas Syari’ah, IAIN Bukittinggi, Kamis (19/11/2020).
Dosen hukum Islam Kolej University Perguruan Ugama Bandar Seri Begawan, Bruinei Darussalam, Dr. Abdul Rauf Amin, dalam makalahya Fiqih al-Waqi’ as an Islamic Law Methodology: Reactualising Islamic Law in the Age Disruption, mengemukakan, sarjana hukum Islam tak hanya menguasai Fiqih , tapi juga menguasai Fiqih al-Waqi’. “Ini dua istilah yang berbeda. Fikih secara umum adalah pengetahuan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad, sedangkan Fikih al-Waqi’ adalah hasil ijtihad yang bertolak dari kenyataan objektif kehidupan manusia dan langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari” , paparnya. “Hukum itu tidak berubah, yang berubah adalah realitas’, tegasnya. Karenanya, dalam konteks era disrupsi ini, para pakar hukum Islam dan ulama mesti punya pengetahuan mendalam semua aspek terkait realitas sosial dan pelakunya, yaitu manusia itu sendiri baik dari sisi psikologis, kultur, dan tradisi yang bersifat dinamis”, imbuhnya.
Salah satu realitas sosial di era disrupsi ini yang dibahas dalam konferensi dengan moderator Irwandi, M.Pd., adalah penggunaan E-Wallet atau dompet digital. “Dompet digital merupakan aplikasi yang memungkinkan para penggunanya untuk melakukan transaksi secara online dengan pengguna lainnya untuk membeli barang dan jasa”, jelas Prof. Dr. Salmy Edawaty Yaacob, pakar hukum Islam Universiti Kebangsaan Malaysia yang tampil membawakan makalah bertajuk Digital Payment Disruption: Application and Sharia Issue in E-Wallet. Dikatakannya, E-wallet adalah alat netral yang ketentuan hukumnya bergantung pada substansi dan peruntukannya. “Namun kriteria bank penerima, cash back, diskon, ekosistem, dan lain-lain merupakan kenyataan yang membutuhkan pengetahuan dan kajian yang mendalam untuk mendapatkan legalitas sesuai syariat Islam”, jelasnya.
Persoalan syari’atisasi turut dibahas dalam konferensi tahunan yang dihadiri para para akademisi dan praktisi hukum itu. Dr. Syafiq dari Universitas Islam Internasional Indonesia yang tampil dengan topik Shariatisasion of Indonesia: A Case Study of Halal Project, menjelaskan syari’atisasi dapat dimaknai sebagai upaya memasukkan legalitas syari’at melalui sertifikasi halal kedalam berbagai produk yang dikonsumsi dan digunakan oleh masyarakat terutama makanan dan minuman, obat-obatan, dan komestik. “ Dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam melakukan legalitas syari’at melalui sertifikasi halal, yaitu cara pandang dan metodologi yang dipakai untuk melakukan legalitas syari’at, dan dampaknya terhadap sistem politik dan sosial khususnya di Indonesia”, jelasnya. Ditambahkannya, syari’atisasi menuntut dua proses utama, yaitu pengeluaran fatwa dan proses menerjemahkannya ke dalam ruang lingkup kehidupan publik dan bidang-bidang yang membutuhkan legalitas hukum.
Pembicara lainnya, Dr. Edi Rosman, mengupas peluang dan strategi penerapan hukum pidana Islam dalam realitas sosial yang dinamis. Tampil dengan topik, The Reformation of Islamic Law in the Age of Disruption, dosen senior Fakultas Syari’ah IAIN Bukittinggi ini menegaskan, penerapan hukum pidana Islam sesungguhnya bukanlah sesuatu yang utopis, sebaliknya ia dapat hidup dan relevan dengan realitas sosial terutama di Indonesia. “Reformasi hukum pidana Islam itu adalah upaya untuk mengaktualisasikan hukum Islam dalam konteks realitas sosial, termasuk di era disrupsi ini”, jelasnya. Dikatakannya, reformasi hukum pidana Islam dapat dilakukan jika setidaknya mencakup tiga prasyarat. Tiga syarat itu, imbuhnya, pertama, hukum sebagai objek reformasi adalah hukum yang sudah ada sebelumnya. Kedua, lanjutnya, hukum itu sudah ditelan zaman sehingga kehilangan relevansinya dan kontekstualisasi dengan realitas terkini di masyarakat, dan ketiga, ada upaya untuk menjadikan hukum itu sebagai hukum yang baru. Rektor IAIN Bukittinggi, Dr. Ridha Ahida, M.Hum., berharap konferensi tahunan ini menjadi agenda rutin bagi para pakar, praktisi hukum Islam, dan mahasiswa Fakultas Syari’ah untuk merespon dinamika sosial dari perspektif hukum Islam. Sementara Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Bukittinggi, Dr. Ismail Novel, menekankan pentingnya jaringan kerjasama para pakar hukum Islam dari berbagai pergurun tinggi untuk riset di bidang hukum Islam untuk merespon dinamika zaman. [IR]