MINANGGLOBAL.ID, KHAZANAH – Maulana Syaikh Mudo bin Abdul Qadim Belubus (1875-1957), merupakan ulama sufi terkemuka dan wali besar di Darek (pedalaman Minangkabau). Tuah keutamaan selaku ‘arif billah ditandai dengan gelar “Maulana” di depan nama beliau. Dalam tradisi Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, gelar “Maulana” tidak sembarang disematkan. Ia tidak bisa karena hasil kesepakatan sekelompok jama’ah, bukan pula gelar yang didirikan secara adat istiadat. Ada prosesi khusus, bersifat ruhani, soal gelar ini, yang menunjukkan maqam taqqarrub di sisi Allah Ta’ala.
Mengenai Maulana Syaikh Mudo, atau saya, sebagaimana generasi sekarang, menyebut beliau Tuak Inyiak, banyak kisah yang dapat menjadi i’tibar dan ingatan bersama. Terutama bagi murid-murid atau murid dari murid-murid beliau. Adapun kisah-kisah beliau itu sangat baik untuk dibaca berulang-ulang, agar kerinduan dan atsar ruhani beliau tetap mengikat hati-hati yang lalai, seumpama saya yang faqir ini.
Kali ini kita akan mengingat pertemuan beliau dengan para auliya’ (dan beliau sendiri, sebagaimana disebut, juga termasuk jumlah auliya‘ tersebut).
PERTEMUAN DI KOTA MADINAH, Bapak H. Hadis bin Abdullatif (lahir 1938) pernah mendengar langsung dari lisan datuknya, yaitu Maulana Syaikh Mudo sendiri. Tutur datuknya tersebut, ketika beliau berhaji ke Mekkah, kemudian ke Madinah, suatu ketika beberapa ulama di sana mendapat informasi bahwa ada seorang wali yang akan datang berkunjung. Maka mereka berkumpul di suatu tempat, di salah satu pintu Mesjid Nabawi, sesuai dengan informasi. Namun, setelah lama menunggu, ternyata tidak ada yang datang melewati pintu itu. Cuma ada seorang yang berpakaian biasa, dan dalam gambaran pemikiran tidak mungkin orang itu sosok yang ditunggu-tunggu, berdasarkan wajah dan pakaiannya itu.
Waktu shalat datang. Ulama-ulama tersebut kemudian shalat, berbarengan dengan orang tadi. Tidak jauh. Setelah salam, kemudian ulama-ulama tersebut melihat ke tempat orang tadi shalat, ternyata ia sudah ghaib, lenyap begitu saja. Dan tidak mungkin dia duluan keluar, sedangkan untuk melangkahi barisan shaf sangat susah. Setelah di cari-cari, tidak ketemu. Ketika itu barulah ulama-ulama tersebut menyadari, bahwa itulah sosok wali yang ditunggu-tunggu. Ternyata pakaian dan wajah, tidak bisa menjadi penilaian tentang maqam seseorang.
Waktu kejadian, Syaikh Mudo Abdul Qadim, sedang berada di Madinah, di lokasi kejadian.