Ilustrasi (Gambar oleh Enrique Meseguer dari Pixabay)

MINANGGLOBAL.ID, SASTERA – Bilik ini begitu ngilu mencekam, tak mampu meredam desau rinai di penghujung sore, meliuk-liuk sapuan tinta mencoreti kanvas-kanvas putih. Entah hendak melukis warna derita, atau memahat sandi-sandi takdir yang terkuak di dedaunan penakdiran, tak dipungkiri juga penghujung jari yang gigil ini menceracau menuang bergelas-gelas tinta penyesalan, penyumpahan atau pencacian jejak liku jalan yang kita rambah beberapa tahun silam. Meja kayu usang di dekat pintu ke halaman belakang rumah adalah saksi mendaratnya bungaan kata bersampul kertas tentang memulakan denting-denting syair rasa, menggema di detak jantung kita, yah! Hanya kita berdua.

Penakdiran atau pengakhiran, itulah tanya yang belum kau jawab jelas, sampai tulisan ini ku sampaikan lewat jendela malam. Awal kisah tentang permulaan pagi yang gumul bersama-sama, embun-embun asa enggan menguap hanya menunggu kita mengabadikan tentang dingin yang melambungkan harapan dan angan. Sampai petang seperti ini pun penakdiran kita telah jelas dan tak disangkal, tentang bahwa apapun namanya, dipisah, memisah ata berpisah hakikatnya tetap satu, aku dan kau adalah awet sudah melegenda, ingin kau temukan aku carilah dalam penjara kata-kata cerita kita, hanyalah cerita.

Surat tak begitu formal yang isinya,

——
Hana, setahun kita bersama atas nama sahabat di almamater yang sama. Entah dimana awal mula yang akan aku sebutkan tentang persahabatan itu, atau mana akhirnya ketidakkenalan kita sebelumnya berujung sebuah pertemuan mengungkap dan menyingkap keasingan kita berdua, sampailah aku mengenalmu begitu dekat, dan tak bisa kubendung, kau pun mencuri arsip-arsip hatiku hingga tak ada rasa yang kita lengahkan melainkan kita sama tahu berdua.Hana, aku mungkin terpenjara entah sampai kapan, atau setidaknya sampai kita menamatkan studi di almamater ini. Bahwa takdir rasa bukan untuk didustai, hanya menjelaskan dan tidak mutlak diterima, itu kesederhanaan kata yang aku sampaikan kepadamu, keheningan malam sering merayuku utuk mencuri bayangmu bermain di laman mimpi, tak lebih dan tak berlebihan walaupun kau hanya diam, mimpi itu begitu berfaedah untuk jiwaku. Bisakah disebut kelancangan bahwa rasa ini menyergapku pelan namun terus tak pernah diam, walaupun rahasia kelam namun terus menguap tajam, sampai tak bisa lagi kecuali kamu tahu semuanya dan mari kita genggam.Hana, tidaklah disebut ini hal yang istimewa, kalau aku tidak sampaikan kepadamu, tinta yang halus dan kertas yang ringan ini, kamu harus tahu begitu berat menyayat aku menuliskannya, namun aku tidak peduli walaupun aku hanya punya satu detak jantung lagi untuk hidup setelah rasa ini sampai kepadamu...

Salam Zain

——

Berbasah-basah dengan payung putih yang agak kusam si Lina menemuiku di rumah, menjinjing roknya yang berwarna coklat takut tertimpa lecetan tanah yang dihantam derai hujan lebat sore itu. Tidak lain dan tidak bukan hanyalah mengulurkan suratmu itu kepadaku, agar rasamu tidak terpenjara dalam sampulan surat.

Tak banyak dapat kuterjemahkan secara jelas makna dan arti surat yang kau layangkan, tak bisa secara detail aku jelaskan pindaian kata-kata yang kau tulis. Hanya saja kesungguhan rasa mengartikannya, bagiku tulisanmu begitu tak jelas dan tak begitu lugas. Banyak bungaan kata yang tidak berujung, hanya semu dan seakan menunggu kalimat berikut untuk penjelasannya, tetap bersambung-sambung kalimat yang kau tulis, ujungnya adalah tetap sama, secara jelas tak ada kejelasan yang tersurat, melainkan hanya tersirat. Pejam mata dan perasaan haluslah yang coba meraba-raba ujung sirat surat darimu. Berlamun waktu dan dihempas masa ke masa, akhirnya tak bisa dibuktikan kapan, dimana perasaan ini dimulai, dan akan kemana perasaan ini sama kita dayung, saat itu kita sama membuta saja, sehingga gelombang manis rindu mendayu telah mengungkapkan kedewasaan kita, walau sekali-kali duri mencucuk perahu-perahu kertas yang kita coba layarkan di dinding sungai perjuangan demi rasa kita, ya!! Tentu untuk rasa kita semata wayang.
…Hana?…” himbau Lina dibalik pintu masuk sambil mengayunkan ketokan halus ke daun pintu. Bergegas ku susuri tangga dari lantai atas menuju pintu di lantai bawah, apa gerangan hujan lebat seperti ini Lina begitu pentingnya menemuiku dengan payung putih dan linangan hujan di jalanan, sepertinya ada berita penting, namun bukan susah tapi malah tidak bisa aku tebak apa itu? Sreeettt…. daun pintu yang menghalangi dalam dan luar rumah ku buka, bersamaan Lina dengan senyum gigil menahan dingin melepas sandal jepitnya.
…Oo iya, maaf Lin, tadi di kampus aku lupa ngasih Flashdisk yang kemaren…” tiba-tiba prasangkaku berkelebat muncul karena kemaren aku meminjam Flashdisk Lina dan janji akan dikembalikan hari ini.
…Bukan, bukan itu…” jawaban pendek Lina mengulum senyum sembunyikan sesuatu, sambil menjelajah jauh ke dalam ruangan menghempaskan pinggulnya di sofa.
…Hufff dingin banget Non!!…” celetuk Lina sambil mengibas-ngibas lengan bajunya yang basah.
… Emang siapa yang nyuruhmu hujan-hujan ke sini…” kutimpali lugas sambil meraih gelas yang kuisi gula dan mengambil teh celup di dekat dispenser.
…Yeee ini demimu Non…” Lina dengan suara tinggi bersitegang menjelaskan bahwa kedatangannya ke sini adalah demiku.
….Tumben, baik banget…” tak jera kucari jawaban buat dia geram.
…Ini ada surat buatmu…” Lina sambil merogoh saku roknya, aku masih asik menuang air panas ke dalam gelas, sejurus kemudian,
…Clinggg..clinggg…” mulutnya berkicau, dengan bersemangat menyentakkan sepucuk surat dari dalam saku roknya, seperti seorang pendekar mengeluarkan pedang dari sarungnya. Tetap tidak mengganggu fokusku yang sedang mengaduk teh dalam gelas.
…Surat dari Zaiiiiinnnnn…” sambungan kalimat Lina menyengat telingaku. Tanganku terhenti mengaduk teh, kepalaku berpaling sembilan puluh derajat ke kanan mencari sosok wajah Lina yang menyebut nama Zain barusan.

Itulah cerita awal suratmu itu sampai kepadaku, semenjak itu pelan namun pasti langkah rasaku selalu mendekati langkah rasamu, sampai jiwa kita berbimbingan di alam batin. Inginlah ku urai semua lipatan kisah semenjak kau kirimkan surat itu kepadaku, namun maaf untuk saat ini aku tak bisa, takut pena ini akan kehilangan tintanya saat kutintakan kenangan-kenangan indah dan kejamnya peradaban cinta yang kau bangun untukku.

Waktu itu mengingat umurku 20 Tahun dan kau 22 Tahun, tak ada pernah pikiran ini berprasangka bahwa rasa di antara kita bukanlah seperti rasa gembira anak-anak yang sedang bermain-main siang dan diakhiri perpisahan di saat sore menyeringai, bukan pula seperti kokok ayam subuh, seakan-akan menghimbau mentari muncul, di saat mentari tiba kokok itupun terhenti. Tak ada kusangka sebegitu biru mencerahnya langit, akan ada tamu awan hitam mendung bergulung-gulung menyesaki ruang bumi yang kupijak.

Memang tak ingin ku kupas sampai ke akar-akar mula pertemuan, perjanjian, dan harapan tentang tiga tahun lalu. Takut aku semakin mencaci-caci waktu yang tak pernah menyalahi aturan main dalam menyampaikan aku seperti saat ini, yah! Di saat hanya tangis dan sedu-sedan meratapi tentang perahu kecilku yang tak pernah kau sampaikan ke seberang, kata kau tersinggahi kabut. Kenapa rinai sebegitu halus kau takuti, sedangkan dulu kau berjuang di tepian labuhan mendorong perahu kita walaupun deru ombak menciutkan nyali pelayaran, namun kau bersikukuh walau berpendayung tangan, tapi sekarang, sungguh aneh, siapakah kau? Kulihat kau hanya sepucuk daun yang lunglai di rimbun semak belukar terpanggang dingin hujan malam, memalukan! Sungguh memalukan, hanya itu yang bisa kusampaikan, bagaimanapun, entahlah.

…Hana? bukan maksud abang mengingkari tentang janji kita untuk menikah…” lewat telpon kata itu kau alirkan ke telingaku.
…Namun, Abang nampaknya melanjutkan kuliah dulu, lagian Abang belum kerja juga…” sambungan kalimat Zain seakan mengelamkan kamarku yang diterangi lampu neon 18 watt. Sedangkan aku masih merapatkan telinga ke telpon, sambil memikirkan seribu kata penjawab pernyataannya.
…Apa?…” suara serakku akhirnya bisa menjawab lantunan pernyataannya barusan. Siap-siap buliran panas di sudut mata sudah menyesak, untung malam itu aku sendirian di kamar sehingga orang-orang terdekatku tidak melihat aku sedang kau ekseskusi dengan tebasan-tebasan katamu hanya dalam tempo beberapa menit saja, tiga tahun silam kau jadikan tumbal malam itu.
…Hana mengertilah, Abang belum siap menikah sekarang…” semakin tajam mata katamu mengiris halus kulit-kulit sedih.
…Kalau memang kita tidak ditakdirkan, Abang rela Hana kalau kita tidak bersama…” susulnya.
…Anehhhhh! Jin dari gunung mana yang mengajarimu berucap demikian Bang…” muak aku mendengar ucapan aneh itu, telpon aku hantamkan ke tempatnya, tissue mungkin terlalu kecil mengusap airmata, aku gulingkan badan di kasur, memegang erat selimut menyapukan ke wajah seorang perempuan yang “terkhianati” ini, yah! Sementara itulah kata yang harus kupinjam dengan keadaan ini.

Begitu mudah kau mengatakan “Abang rela Hana kalau kita tidak bersama…”, bukalah dulu kau mengatakan akan berjuang bersama apapun yang terjadi, bahkan kita sempat saling mencari pembenaran tentang keberlanjutan hubungan kita agar sampai ke pelaminan, kita kumpulkan daftar nama-nama teman yang belum kerja dan masih kuliah tapi berani nikah, pernah kau ujarkan kepadaku.“…Kalau kita siap kuliah nanti aku janji akan melamarmu Hana, kan Allah swt telah ngatur rezki kita bukan?…” begitu manis perangkap kalimatmu saat itu, seakan-akan berat badanku hilang, melayang di ruang-ruang riang, ku pajang di dinding hati yang senang.“…Soal kita belum kerja, Abang rasa itu bukan alasan untuk tidak menikah, coba Hana lihat si Hamdi baru semester empat tapi berani nikah walau belum punya kerja tetap, tapi kuliahnya lancar, si Vina juga nikah dengan teman selokalnya Jurusan Ekonomi tapi rumahtangganya baik saja kan?…” kalau tidak salah kau mengumpulkan lima daftar nama pasangan yang menikah saat kuliah, maksud yang kau sampaikan bahwa nikah tidak musti menunggu kerja dulu, seribu dalil Al-Quran dan Hadits tentang pernikahan kau suguhkan kepadaku, intinya satu, nikah tidak pernah dihalangi oleh kerja dan kuliah, yang penting kita sama-sama siap menjalankan biduk rumahtangga.

Sekarang!!! Terus sekarang, kemana kau raibkan janji-janji itu, kenapa kau tarik lagi gula-gula manis yang kau semaikan dalam hayal dan anganku, tidak pernah kau bayangkan aku akan memuntahkan penyesalan atau penyumpahan untuk dirimu. Jangan kau sangka bahwa muara bisa saja menuntut hulu yang mengeringkan air-air yang dijanjikan. Hanya dengan alasan kuliah dan belum kerja kau tumbuk halus janjimu lalu abunya kau hamburkan di udara malam, sampai aku tak bisa lagi menggenggamnya dan hanya membauinya, dan akhirnya berakhir harapanku.

Dulu kau katakan apapun terjal jalan, kita hadapi! kau akan abadi menggemang jemariku, kerja dan kuliah bukan halangan untuk melangkah ke pelaminan, sekarang! Kenapa teganya kau katakan “aku akan kuliah dulu dan aku juga belum kerja Hana” mana mulutmu yang dulu mendendangkan janji di telingaku yang polos.

Tak semalang ini keadaanku yang dulu pernah kuramal dalam munajat dan doa di pertiga malam. Ringan betul keputusan yang kau buatkan untukku, terus kau kalungkan di antara derai isak tangisku, tidakkah kau coba pahami peristiwa-peristiwa pahit yang dulu aku alami demi mempertahankanmu. Terpaksa kusampaikan peristiwa satu tahun silam tentang seorang laki-laki datang melamar. Pamanku pulang dari Singapura setelah menamatkan studinya, dia punya kenalan seorang laki-laki, tiga tahun lebih tua dariku. Saat itu aku tidak pernah mengungkapkan kedekatan kita kepada orangtua, karena memang merasa tidak ada yang salah dengan hubungan kita dan beranggapan orangtua setuju-setuju saja dengan hubungan kita saat itu. Paman yang tidak menahu dengan hubungan kita ingin memperkenalkan aku dengan kenalannya, lewat ayah disampaikan dan ayah menyampaikan kepadaku. Saat itulah perjuangan aku sebagai perempuan dimulai dalam mempertahankan rasa kepadamu. Berbulan-bulan aku harus kerja keras menguras pikir dan taktik bagaimana hubungan kita tetap di jalan yang sama, dengan kata lain aku katakan “aku tetap setia”.

Itulah awal terbongkar hubungan kita kepada orangtuaku, aku berjuang mati-matian bahkan sempat bicara di depan ayah berurai air mata bahwa pilihanku yaitu kamu adalah yang terbaik.
…Hana? coba engkau berpikir nak! Setahun lagi kuliahmu tamat…” ayah membujuk aku agar bisa menerima usulan paman dengan laki-laki itu.
…Ayah? sebenarnya Hana sudah punya pilihan hati sendiri yah…” begitu polos aku sampaikan kepada ayah, mungkin beliau tidak begitu memahami rasa kita atau setidaknya rasa suka duka kita yang dianyam bersama dalam dentuman waktu yang kerapkali mencobai kesetiaan di setiap waktu.
…Ayah ngerti Hana, tapi laki-laki yang dikenalkan Paman mu ini, dia itu sudah mapan, udah kerja…” ayah meneruskan bujukannya tanpa memperdulikan kata-kataku barusan yaitu “pilihan hati”. Sempat aku terdiam beberapa saat, aku hanya membayangkan bagaimana sedihnya hatimu saat itu andai aku terima lamarannya, aku tidak bisa mencabut ketetapanku untuk menyetiamu Zain!, hanya karena kehadiran seseorang yang baru dalam hidupku. Sebenarnya laki-laki itu secara sepintas tidak ada kekurangan, dia taat beribadah, mapan, dari keluarga terhormat dan sempat dia datang ke rumah berkomunikasi dan sebenarnya aku tidak bisa mencari celah untuk menolak lamarannya. Hanya “kamu” alasan jitu bagiku untuk tidak menerima lamarannya, hanya itu tidak lebih dan tidak kurang. Aku adalah seorang perempuan tertakdir untuk menyetiaimu. Materi, mapan, kerja, kaya bukan azimat yang mumpuni bagi laki-laki lain menggodai pendirianku terhadapmu, bagaimanapun aku mengikat erat janji yang kita buhul. Sederhana kalimatku, andailah saat itu baru sama-sama hadir dua laki-laki yaitu kamu dan dia pilihan pamanku, maka aku akan memilih pilihan pamanku, itu andai kau dan dia sama-sama hadir dalam kedidupanku, tapi saat itu kau duluan hadir mengisi ruang kecil dalam sukma, kupertahankan, apakah itu salah atau menyalahi? Kau bayar peristiwa itu dengan ucapan ringan lewat telpon yang intinya, janji kita menikah seusai kuliah kau buyarkan di antara gelombang suara memarau di ubun rasaku.

Zain! Kau telah berani melayarkan perahu kertas dengan membujuk dermaga agar mengizinkan kau nakhodai. Setelah ratusan gelombang dan riak kau jumpai, hanya seutas kabut tipis menghalangi pandang diujung pulau yang kau citakan, kau hentikan kayuh dayung. Sementara perahu itu semakin basah dan melemah, sesal-sesal jalan perahu itu telah mengutuki laut yang melayarkannya, menyumpahi dermaga yang melepasnya. Kau begitu indah melenggang di bibir pantai melambaikan tangan pertanda memulai perahu kertas akan tenggelam. Aku malu sama orangtua yang dulu aku belain dirimu di hadapannya, umurku semakin memanjang, hanya jangkrik yang tak merubah nyanyiannya menyambung tangisan kecilku dari bilik ini. Hebat kau telah mengantarkan di penghujung harapanku dalam kesendirian, kesepian, kesunyian. Bukan tidak mau memulai, tapi bayang tusukan perlakuanmu menabiri pandangan akan dunia dan segala asa. Kembali izinkan aku ulang pertanyaan apakah ini “Penakdiran atau pengakhiran?”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here