Gugurnya Dua Sayap Aisha

Penulis: Muhamad Fajri │ Editor: Muhamad Fajri

0
Ilustrasi (Gambar oleh Muhamad Fajri)

MINANGGLOBAL.ID, SASTERA – Kaki si bocah kecil itu terjuntai-juntai di aliran air bandar di samping rumah, mengaliri kolam kecil dan beberapa petak sawah. Hujan malam baru saja reda, digonggong cahaya mentari yang mencoba menguak-nguak bilah awan separo hitam, yang masih mencoba menurunkan muntah air untuk bumi malam sesudah isya ini.

Tertunduk kepala berkerudung coklat, memandangi deraian aliran air yang ditembak cahaya sang bulan di atas atap gubuk ini. Tiga perempat goreng pisang tertidur nyenyak di genggaman jari-jari gemulainya, nampaknya tidak ada harapan lagi “si goreng” akan dikunyah si bocah itu, sedikit-sedikit temaran malam memantul-mantul di daun pisang terpoles basah. lampu teplok sengaja digantung di tonggak teras rumah depan agar si bocah bisa meleluasakan sedih malam ini.

Di bawah kemilau lampu teplok menebar redup ke celah-celah rumah, seorang pria sekira-kira berumur 31 tahun menepis-nepis tikar pandan melunturkan pasir-pasir yang tersangkut. Dua insan malam ini sepi, bisu dalam gerak, si bocah kecil dan si pria itu. Selesai isya, penduduk sekitar baru menyelesaikan acara takziah ke rumah atau lebih tepat gubuk itu.

Berjalan si Pria dengan gontai sepenuh jiwa, mendekap si bocah dari belakang yang sedang menjulurkan kaki mungil ke tumpukan air bandar yang mengalir, memagut tubuh si bocah yang separo dingin menyemai dikulitnya.
…Aisha? ayo nak! Tidur…” kata pemecah keheningan dari si Pria itu. Aisha menggeliat menggelengkan kepala tanpa melihat siapa yang mendekap dari belakang. Enggan, sedih, nampak bahasa tubuh si Aisha menunjukkan hal itu. Si pria itu mendekatkan pipinya ke pipi si Aisha perlahan, dan sekali lagi,
…ayo nak?…” bisikan bercampur hiba mencuat dari dalam jiwa. Terisaklah Aisha kali ini, sedari dari tadi menahan bendungan air mata, terurai hangat di pipinya gurat-gurat tangis yang bersambung. Suara parau sebagai jawaban dari ajakan kedua kali si pria itu,
…Aisha sayang Bunda…” tersedu sedan, nampak jelas dari tarikan dadanya yang kembang kempis tak beraturan. Si pria tak memberikan tanggapan, hanya menunduk memandangi air bandar yang mencoba mencuri sedih si bocah Aisha.
…Bunda bohong! katanya Bunda sayang Aisha, kenapa Bunda pergi Ayah?…” tuduhan polos Aisha menyeringai dibalik kuping si Pria itu. Pukulan kedua tidak dapat dibalas, mungkin menahan sesak di dada bagian kiri. Sambil menengadah mulut Aisha merengek,
…Bunda… Aisha sayang Bunda…” dia menggelinjang di pelukan Pria itu. Terjatuhlah goreng pisang dalam genggaman tadi, mungkin sudah dingin seperti arus angin malam saat itu.

Si Pria itu tak ingin berlama-lama menerima tuduhan yang mungkin jauh lebih perih baginya, tapi apakah ada kata-kata yang lebih ringan yang bisa dia sampaikan kepada Aisha, sehingga si Aisha tiga tahun mengerti keadaan ini, yah!! keadaan yang dia dan Aisha sangat pilu menerimanya, gejolak kata berhambur-hamburan dalam ruang hatinya.
“…Sayang, Bunda gak pergi lama kok?…” bohong yang sangat nyata mencoba membodohi Aisha. dengan harapan si Aisha tenang, setidaknya bisa tidur malam ini.

Berdentang-dentang bunyi jam dinding peninggalan kakek Aisha di dinding sebelah barat, sebanyak dua kali. Sudah bisa ditebak, malam ini jam 02:00 dini hari, sedang bersunyi-sunyi insan dengan mimpinya, berpagut-pagut dengan selimut, mengurai lelah seharian mencangkul di sawah atau mengembala itik siang tadi. Aisha terbawa alam bawah sadar merobek keheningan jam 2 malam.
….Bunda, ikuuuuttt…” kata-kata itu jelas tanpa ada yang blur, Aisha mengigau dalam tidurnya, merembes lagi air mata melepaskan diri dari pelupuk matanya. Sontak si Pria terjaga dari tidur lelah-sedihnya.
…Ya Allah…” si Pria berucap lirih dalam hati memandangi erangan Aisha di malam sunyi akan kerinduan seorang bocah kepada Bunda nya, anak yang lugu, polos, haus kasih sayang yang biasa malam-malamnya didengarkan lantunan ayat suci al-Quran yang dirapalkan ke telinga oleh Bunda nya sambil mengelus kening si bocah, dan kemudian tertidurlah dalam buaian Bunda nya. Sekarang apa? semua berubah, telinganya sunyi dari lantunan ayat suci al-Quran yang biasa didendangkan Bunda nya. Keningnya siapa yang mengelus-elus sampai dia begitu terbuai diantarkan ke alam mimpi? bisakah aku melakukannya? mungkin bisa, tapi apakah kerinduan akan Bunda nya tergantikan oleh Ayah nya, apakah mukjizat tangan Bunda nya sama dengan tangan Ayah nya, bisakah si Pria itu menggantikan kasih Bunda nya yang sudah ter-install terpaku dalam alam bawah sadarnya sejak dalam kandungan, kemana harus dia cari pengganti Bunda nya, tidak! tidak akan ada yang menggantikannya, kecuali ia menemui Bunda nya di syorga, mungkin tidak sekarang tapi nanti, bukan Aisha saja, si Pria itu juga rindu Bunda nya Aisha.

Selesai igauan Aisha, lalu dia terbangun cepat terduduk di samping Pria itu, dengan irama sesak yang jelas di dadanya. Tertegun-tegun dia mengatur nafas dan emosi, si Pria hanya bisa memeluknya dalam dekapan hiba dan putus asa.
…Aisha? ini Ayah nak?…” semoga kata ini mujarab bagi Aisha.
…Aisha kangen Bunda….” meledak-ledaklah hamburan tangisnya, bagaikan serangan peluru yang sporadis dari ujung senapan tentara. Pria tersebut kecup kening dan pipinya, Aisha meronta-ronta sambil terus meneriakkan kerinduaanya.

Temaran nyala lampu di dinding mengalihkan pandangan si Pria itu ke sebelah kanan Aisha, sebuah kain petak segi empat, di raih dan dihapuskan ke pipi Aisha, menyerap sisa basahan airmata. Aisha memegang erat-erat kain itu, sambil menangis dibalik tutupan kain ke mulutnya, sesungukan tanda akan mereda. Si Pria terus memeluknya erat, satu, dua tiga, hitungan menit Aisha meneduhkan tangis, sambil direbahkan lagi tubuhnya di kasur.

Si Pria memperhatikan kain segi empat masih diremas-remas dibalik picing mata Aisha, tanpa ada niat melepaskannya, dibiarkannya saja. Akhirnya Aisha kembali dibujuk dingin malam, meneruskan belaian mimpi yang tertunda oleh kerinduan yang tidak akan pernah terwujud. Terpana Pria itu melihat separoh wajahnya tertutupi kain segi empat di tangan Aisha yang terlelap.

Ingatan Pria itu melayang-layang, akhirnya tersangkut pada sebuah masa lalu. Dia masih ingat jelas, sering Aisha kecil berlari-lari sepanjang lantai rumah, tertawa sambil menyandang kain segi empat itu, karena baru saja berhasil mencopot dari kepala Bunda nya, kadang dengan lucunya dia coba pasang sendiri dan bergaya di depan cermin lemari, dan kembali kepada Bunda nya,
…Bunda, Aisha cantik kan?…” itu katanya, sebenarnya meminta pembenaran, kalau dia pun cantik pakai kain tersebut.
…Masyaallah, Aisha? sini nak, biar Bunda pasangin jilbabnya bagus-bagus….” karena jilbab hasil pasangan Aisha menutupi pipinya sebelah kanan, dan menjelaskan rambut kepala di bagian kiri. Aisha berlari ke arah Bunda nya. Selesai jilbabnya diperbagus, kemudian Aisha berlari ke si Pria itu yang duduk di teras depan, merapikan jala ikan yang sobek,
…Ayah? ” Aisha menyapanya, tanpa melanjutkan kata-kata. Hanya berpose dengan kuluman senyum malu-malu, seakan mengatakan,
…Aisha cantik kan Yah?“,
..Ha..ha..ha..” tersembur ketawa si Pria itu melihat Aisha pakai jilbab, tapi celana yang dipakai celana kecil yang di atas paha, celana saat dia masih bayi, terbalik lagi.
..He..he..” sambutan tertawa dari Bunda nya dalam rumah jelas terdengar, “..Nak? masak Jilbab, celana kayak begini, ayo tukar dulu celananya, biar cantik anak Ayah…” Aisha berlarian ke dalam rumah, kemudian terdengar, “…Ayo sini Aisha, Bunda ganti dulu celananya..” Bunda nya mengulang kata-kata itu tiga kali. Ternyata Aisha tidak mau, dia hanya berlari-lari sepanjang rumah,
,,,Nggak mau,,,nggak mau…” Aisha bersitegang tidak mau menukar celananya yang juga terbalik.

Berlinang-linang airmata si Pria itu ketika mengingatnya, sementara Aisha sudah kembali sunyi dari igauannya, sekarang dia yang tidak bisa melanjutkan tidur, sambil memeluk lutut, dan bersusah-susah menghentikan sesak di dada.

Matahari baru saja menghalau titik embun di goyang daun ilalang, semburat kuning menggantung di timur langit gubuk itu. Semua bercerita tentang terang, mendongeng tentang berjuang, membisik tentang siang, yah! siang akan menjelang. Hembusan bayu masih malu-malu mengecup kuncup yang tertinggal dingin, menjamah kabut-kabut air yang merenda di wajah sungai.

Adalah sepiring nasi terduduk diam di atas dua unjuran kaki Aisha mungil, diremas-remas tak tentu nasib, nasi itu kadang jatuh ke piring lagi, sangat jarang akan bisa mencapai mulut, dua bulir bening senantiasa mengitari pelupuk matanya yang sendu, kadang nasi tersangkut dijilbab coklat yang terjuntai di tubuhnya. Kebingungan di atas kebingunan mengelabui rasa Aisha. Adakah kuat bocah sekecil itu kehilangan orang yang dia cintai, bolehkah bersedih anak sekecil Aisha menanggung kepedihan dengan kepastian hari-harinya sudah kehilangan Bunda tercinta, si Pria itu tidak bisa mengatur takdir, tidak bisa merayu takdir, akan diterjemahkan apa semua yang terjadi? Dia bertanya kepada sunyi yang menyeringai di kotak hati.

Segelas teh memuai panas di ujung gelas, mata Pria itu jauh menembus, tumpukan batang padi menjelajahi kelok-kelok bayangan yang mendering di lingkar bukit. Masih jelas pesan-pesan warga yang berdatangan malam tadi tentang kesabaran, ketabahan, keikhlasan. Pak? Buk? terimakasih penyejuknya.

Si Pria dan Aisha sedang dirundung dera duka berlapis-lapis. Dua bulan yang lalu, Aisha tidak pernah berpisah dengan Bunda nya, selalu bermanja-manja, bercerita ngalor-ngidul, ada saja tingkah yang ditampilkan untuk bermain-main dengan Bunda nya, satu hal yang membuat Aisha berbeda dari masa sebelumnya. Masa sebelumnya Aisha kecil sering merengek kepada Bunda nya,
…Bunda, pinjam dedek Farhan…” seketika dia bermain dirumah tetangga, melihat anak tetangga yang masih kecil umur sembilan bulan, ungkapan polos itu sering terdengar. Dalam waktu lain, Aisha sering menceracau,
…Aisha pengen dedek?…” desaknya tak dapat disanggah ataupun dirayu.

Kerinduan seorang Aisha kecil kepada seorang adik untuk teman bermain adalah keinginan yang selalu setia dirapal dari mulut mungilnya. Allah swt memberikan izin, mendengar raungan hati Aisha kecil, Bunda nya mengandung seorang jabang bayi. Aisha senang bukan kepalang, bahkan dua bulan yang lalu, disaat perut Bunda nya semakin besar, Aisha tahu betul, itulah dedek yang dia rindukan, tak mau sedikitpun terlengah dari mengitari dan mengelilingi aktivitas Bunda nya. Kadang ketika Bunda nya istirahat, Aisha terlelap di perut Bunda nya, ketika disuruh beranjak agar jangan mengganggu istirahat Bunda nya, Aisha marah dan menggeleng-geleng sambi berucap,
…Aisha sayang sama dedek…” sambil memeluk perut Bunda nya. Apa yang hendak dibuat, terpaksa Bunda nya bersabar akan tingkahnya itu. Toh! dia adalah insan yang sedang dimabuk rindu, menanti si dedek cepat hadir ke dunia, meramaikan gubuk ini.

Bahkan belakangan ini hari-hari Aisha sangat ceria sebelum dentuman lara ini mendera, bahkan Aisha tidak penat-penatnya menolong Bunda nya melakukan aktivitas yang dapat dia lakukan, bahkan dia akan nurut kepada Bunda nya kalau sudah dibilang atas nama “Dedek”.
…Aisha jangan dibuang-buang nasinya nak!…” sergah Bunda nya seketika mendapati Aisha memainkan nasi dalam piringnya, namun kadang tiada diperhatikan nasehat Bunda nya.
…Nak? kalau dibuang-buang nasinya, dedek-nya makan apa ntar..” politik Bunda nya mulai muncul, seketika Aisha terbelalak kalau disebut-sebut nama “dedek”, langsung menghentikan larangan itu.

Pokoknya, segala tingkahnya yang tidak baik, berlari-lari, berkotor-kotoran, menangis tidak karuan akan terhenti kalau disebut atas nama “dedek”. memang begitulah Aisha kecil, sangat rindu dan sayang sama “dedek”. Bahkan si Pria itu harus melerai Aisha yang menggigit tangan tetangga yang menjadi sopir saat Bunda nya pergi ke rumah sakit, dibawa dengan mobil saat hendak melahirkan beberapa hari yang lalu, dalam pikirannya, si sopir mengambil Bunda dan dedek tercinta yang dielukannya selama ini.

“…Sabar ya nak? desah si Pria itu dalam hati, semua itu telah melayang terbang, Ayah tidak bisa mengira-ngira kedalaman sedihmu nak? Bunda yang engkau cinta telah pergi ke Haribaan-Nya, dedek yang kau tunggu telah pergi bersama Bunda mu nak? Ayah tahu, tidak pantas engkau menerima duka sekejam ini, tapi Ayah ingin kau bisa terima, kuatlah nak, tegarlah nak, songsong harimu tanpa Bunda tercinta, lewati harimu tanpa dedek yang kau minta, walau engkau sering melumam air mata yang melewati bibirmu, walau sering tanganmu nanti menengadah di pusara Bunda mu berhiaskan isakan kecil yang memilukan. Ayah tidak ingin melihat tangis kerinduanmu tapi Ayah juga tidak bisa larang kesedihanmu, engkau adalah hadiah terindah dari Bunda mu, akan Ayah jaga engkau dengan sebisa dan semampu sayap-sayap kehidupan Ayah. Terima kasih untuk isteriku tercinta, engkau telah syahid di mata-Nya, karena meninggal dalam perjuangan melahirkan janin dalam kandungan. Tunggu kami di syorga, kan kujaga anak kita Aisha, sesuai dengan impian kita, semoga doa-doa Aisha selalu mengalir dalam jiwa yang sholeha..” igauan lirih Pria itu dalam hati.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here