Nietzsche, Machiavelli, dan Kelas 1-D: Filsafat Kekuasaan dalam Classroom of the Elite

Penulis: Muhammad Rizky Wahhabbi (Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN SMDD Bukittinggi) | Editor: Habibur Rahman

OPINI72 Dilihat

 

MINANGGLOBAL.ID, – Classroom of the Elite bukan sekadar anime tentang persaingan akademik di sekolah. Lebih dari itu, anime ini menggambarkan dunia yang penuh intrik, di mana kekuasaan, manipulasi, dan moralitas saling berkelindan dalam interaksi yang kompleks. Kelas 1-D menjadi gambaran mikro-kosmos sebuah masyarakat kompetitif, tempat para siswa tidak hanya berjuang untuk bertahan, tetapi juga untuk naik dalam hierarki sosial yang ketat. Dalam konteks ini, ajaran filsafat Friedrich Nietzsche dan Niccolò Machiavelli menjadi sangat relevan. Keduanya memberikan pandangan pragmatis yang sering kali melampaui moralitas tradisional, sesuatu yang tampak nyata dalam dinamika kelas 1-D.

Friedrich Nietzsche dikenal dengan konsepnya tentang Übermensch atau “Manusia Unggul,” yang merepresentasikan individu yang melampaui norma sosial dan moralitas konvensional untuk mencapai potensi tertinggi mereka. Nietzsche berpendapat bahwa manusia unggul tidak tunduk pada aturan yang dibuat masyarakat, tetapi menciptakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Dalam Classroom of the Elite, Kiyotaka Ayanokoji, sang tokoh utama, mencerminkan konsep ini. Ayanokoji tidak terikat oleh moralitas tradisional atau nilai-nilai umum seperti keadilan dan kebaikan. Dia lebih berfokus pada kontrol atas situasi dan tujuan akhirnya. Bagi Ayanokoji, efisiensi adalah segalanya, dan dia tidak segan-segan menggunakan cara apa pun untuk mencapai hasil yang diinginkannya, meski itu melibatkan manipulasi dan pelanggaran etika.

Salah satu ciri utama “Übermensch” menurut Nietzsche adalah keberanian untuk menolak moralitas tradisional yang dianggap sebagai penghalang perkembangan individu. Hal ini tercermin pada Ayanokoji yang memandang norma-norma sosial sebagai hambatan. Dengan kecerdasannya, ia bergerak melampaui batas-batas moralitas konvensional, menciptakan jalannya sendiri untuk meraih kekuasaan. Nietzsche juga menekankan bahwa manusia unggul harus mampu menciptakan nilai-nilai baru. Hal ini terlihat pada Ayanokoji, yang menentukan sendiri apa yang penting baginya: kekuasaan, kendali, dan kebebasan bertindak. Ia tidak termotivasi oleh keinginan untuk diterima secara sosial atau membangun persahabatan sejati, tetapi lebih memilih untuk menjalani hidup berdasarkan strateginya sendiri. Dalam prosesnya, ia kerap menggunakan orang-orang di sekitarnya sebagai alat untuk mencapai tujuannya, tanpa memedulikan konsekuensi moral.

Selain Nietzsche, pemikiran Niccolò Machiavelli juga terasa sangat menonjol dalam karakterisasi Ayanokoji. Dalam karyanya “The Prince”, Machiavelli menekankan pentingnya pragmatisme dan kadang-kadang amoralitas dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Prinsip yang terkenal dari Machiavelli, yaitu “tujuan menghalalkan cara,” sejalan dengan cara Ayanokoji memanipulasi situasi. Dalam kelas 1-D, Ayanokoji tidak segan-segan menggunakan kelemahan orang lain untuk keuntungannya sendiri, bahkan jika tindakan tersebut melibatkan pengkhianatan atau eksploitasi.

Salah satu aspek penting dari ajaran Machiavelli adalah pentingnya kecerdikan dan manipulasi. Dalam hal ini, Ayanokoji sangat unggul. Ia memahami psikologi orang-orang di sekitarnya dan tahu bagaimana memanfaatkan kelemahan mereka untuk menciptakan situasi yang menguntungkannya. Meskipun sangat cerdas, ia tidak pernah menunjukkan kemampuannya secara terang-terangan. Sebaliknya, ia menjaga citranya sebagai siswa biasa, sementara di balik layar ia menjadi dalang dari berbagai strategi kompleks. Dengan cara ini, Ayanokoji merepresentasikan pandangan Machiavelli bahwa seorang pemimpin yang baik harus mampu menjaga kendali tanpa menarik perhatian berlebihan.

Kelas 1-D, sebagai latar utama cerita, menggambarkan dunia sosial yang kompetitif, di mana kekuasaan menjadi mata uang utama. Dalam sistem ini, kejujuran dan moralitas sering kali menjadi hal yang tidak relevan. Sebaliknya, mereka yang mampu membaca situasi, mengeksploitasi kelemahan, dan memanipulasi sistemlah yang akan bertahan dan unggul. Kelas ini mencerminkan masyarakat yang lebih luas, di mana individu saling bersaing untuk mendapatkan posisi teratas. Bagi Ayanokoji, bertahan bukanlah sekadar menjadi bagian dari sistem, tetapi mengendalikan sistem itu sendiri.

Anime ini tidak hanya menggambarkan dinamika sosial yang penuh intrik, tetapi juga memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana filsafat Nietzsche dan Machiavelli dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Ayanokoji, sebagai tokoh utama, adalah personifikasi Übermensch Nietzsche, seorang individu yang melampaui batas-batas moralitas tradisional dan menciptakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Di sisi lain, ia juga mengadopsi prinsip-prinsip Machiavellian, memprioritaskan hasil akhir di atas cara-cara yang digunakan untuk mencapainya.

Dalam dunia Classroom of the Elite, yang terpenting bukanlah moralitas atau keadilan, melainkan kemampuan untuk memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi. Hanya mereka yang cerdas, manipulatif, dan ambisius yang dapat bertahan dan meraih puncak. Dengan demikian, anime ini mengajarkan bahwa dalam dunia yang penuh persaingan, pragmatisme dan strategi adalah kunci untuk bertahan hidup dan mencapai kekuasaan. Classroom of the Elite menjadi refleksi tajam tentang sifat dasar manusia dalam menghadapi kompetisi dan ambisi, sekaligus menyajikan eksplorasi filsafat yang mendalam melalui medium cerita yang memikat.

Penulis: Muhammad Rizky Wahhabbi (Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *