MINANGGLOBAL.ID, SUMBAR, Khazanah – Maulana Syech Ibrahim Al-Kalidi Kumpulan memiliki gelar Inyiak Balinduang. Syech Ibrahim Al-Khalidi lahir di Pasaman pada tahun 1764 dengan nama asli Abdul Wahab di Kampung Laweh Kenagarian Koto Kaciak Kumpulan Kecamatan Bonjol Kabupaten Pasaman Sumatera Barat, Ibunya bernama Aso dan bapaknya bernama Pahat.
Kegigihan Syech Ibrahim Al-Khalidi sangat kuat dalam belajar agama Islam, hal ini ditanamkan oleh ayahnya, sehingga menggerakkan hati Syech Ibrahim Al-Khalidi untuk belajar ke surau-surau, dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Pertama Syech Ibrahim Al-Khalidi berguru ke Agam tepatnya di Kenagarian Pasir Laweh, berguru kepada Syech Burhanudin Ulakan asal Pariaman selama 10 tahun. Syech Ibrahim Al-Khalidi kemudian melanjutkan belajar kitab mahzab Syaif`iah di Cangkiang Empat Angkat Canduang selama 25 tahun. Syech Ibrahim Al-Khalidi selalu dikelilingi oleh orang yang berilmu, dan setia, dikarenakan lingkungan yang mendukung serta mendapat fasilitas yang mudah, Syech Ibrahim Al-Khalidi mampu mengembangkan ajaran Islam dengan baik di Kumpulan.
Satu tahun setelah Syech Ibrahim Al-Khalidi berangkat ke Makkah untuk menuntut ilmu, Syech Khalid Kurdi adalah gurunya saat di Jabal Kubis. Syech Ibrahim Al-Khalidi menimba ilmu dengan semangat yang menggelora, tidak menyia-nyiakan suatu karunia dari Allah, karena berangkat ke tanah suci adalah sebuah keistimewaan, karena kondisi Negara pada saat itu masih berada dibawah jajahan kolonial Belanda. Tujuan Syech Ibrahim Al-Khalidi untuk memiliki bekal dalam memperbaiki kemerosotan moral yang berada dikampung halamannya, seperti judi, sambung ayam, dan sebagainya.
Setelah pulang dari Makkah Syech Ibrahim Al-Khalidi memiliki beberapa orang isteri dan anak. Isteri pertama berasal dari Sawah Laweh, dikaruniai satu orang anak,. Isteri kedua berasal dari kampung Hangus bernama Aminah, namun tidak memiliki anak, isteri ketiga berasal di Simpang, dikaruniai anak dan cucu, namun setelah dilakukan penelusuran data, anak dan cucu Syech Ibrahim Al-Khalidi telah wafat.
Masyarakat di Kumpulan saat itu masih jauh dari norma agama, karena masyarakat tidak mau meninggalkan tradisi yang begitu kental dan kuat. Upaya awal yang dilakukan oleh Syech Ibrahim Al-Khalidi yaitu dari membangun Surau Tinggi yang berukuran 12x12m pada tahun 1814, kemudian pada tahun 1972 direhap oleh Syech Ibrahim Al-Khalidi bersama murid-muridnya menjadi berukuran 15x15m, perubahan dasar bangunan dari kayu menjadi semi permanen, sesuai dengan namanya, surau ini belum memiliki kapasitas yang besar. Oleh karena itu, pada tahun 1892 Syech Ibrahim Al-Khalidi membangun Masjid Batu di daerah Koto kaciak, masjid ini dibangun dari bahan bebatuan, hal ini mendapatkan perhatian dari masyarakat sekitar Kumpulan, hingga muridnya semakin bertambah, bisa dikatakan 50 orang dalam setiap harinya apabila ada murid yang menginap di kediamannya.
Syech Ibrahim Al-Khalidi adalah pelopor tarekat Naqsyabandiyah di Sumatera Barat khususnya dibagian utara. Tidak mungkin rasanya jika tidak menyakutkan Syech Ibrahim Al-Khalidi dengan Tarekat Naqsyabandiyah. Melalui Tarekat inilah Syech Ibrahim Al-Khalidi mendekati masyarakat Kumpulan untuk meninggalkan tradisi yang merusak dan bertentangan dengan syariat Islam. melalui dzikir yang menyentuh ke kalbu, caranya dengan berdiam diri, mulut berkomat kamit menyebut nama Allah, kemudian turun ke hati sehingga lidah berdzikir sendirinya, biasanya lafadz laa ilaa haillaallah, dibaca dengan tempo yang semakin lama semakin cepat.
Pada umur 50 tahun Syech Ibrahim Al-Khalidi juga bergerak di bidang politik, seorang tokoh penting dalam meletusnya perang Padri di Bonjol, ikut dalam membantu kaum agama yang dikomando oleh Tuanku Imam Bonjol untuk melawan kaum adat. Syech Ibrahim Al-Khalidi wafat pada tahun 1914 M, dalam usia 150 tahun, bertepatan pada 21 Zulqa`edah 1335 H. Sebelum wafat, Syech Ibrahim Al-Khalidi mengalami sakit yang berlangsung selama 15 hari. Dikutip dari Jurnal Kori Lilie Muslim dan rekannya bertajuk “Bentuk Ajaran Syech Maulana Ibrahim Al-Khalidi Kumpulan dalam menyebarkan Islam di Minangkabau (Tinjauan Historis).” Tahun 2019.
Ada hikayat yang menyatakan bahwa Syech Kumpulan memiliki karomah yang tidak bisa dipikirkan oleh akal sehat. Tidak tembus saat ditembak kolonial Belanda, Syech Ibrahim Al-Khalidi juga tidak bisa digambar atau dilukiskan oleh siapapun, sehingga dia tidak pernah tertangkap oleh kolonial Belanda. Pada saat banjir bandang di Kumpulan, dengan tongkat miliknya, dia menggarisi tanah kemudian air banjir tidak mampu melewati garis itu, hingga banjirpun surut, semua atas kehendak Allah SWT.
Penulis menyimpulkan bahwa Syech Ibrahim Al-khalidi memiliki peran yang sangat penting bagi umat Islam, terutama di Sumatera Barat, karena mampu membawa peubahan yang lebih baik kepada masyarakat melalui Tarekat Naqsabandiyah, Syech Ibrahim Al-Khalidi membawa kedamaian sehingga masyarakat Kumpulan dan sekitarnyaa perlahan meninggalkan tradisi yang bertentangan dengan syariat Islam seperti berjudi, mabuk, sambung ayam, kemudian beralih menjadi masyarakat yang lebih suka ke surau dan mengingat Allah. Maka dari itu penulis berharap kepada masyarakat Indonesia, terutama kepada masyarakat di Sumatera Barat, pertama untuk lebih mengenal dan mendalami pelopor Islam di Indonesia, kedua mencontoh perilaku Syech Ibrahim Al-khalidi dari segi kegigihan dalam menuntut ilmu, ketiga semoga pada generasi selanjutnya muncul tohoh yang menyerupai bahkan melebihi dari kiprah Syech Ibrahim Al-Khalidi, agar masyarakat Indonesia, khususnya di Sumatera barat lebih menggenggam erat ajaran Islam. (JP)