Muhammadiyah Kultural

SUMBAR364 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, SUMBAR – Payakumbuh, Pada acara resepsi milad ke-111Muhammadiyah di kota Payakumbuh, Sumatera Barat, Ahad (24/12/2023), Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) kota Payakumbuh menyerahkan kartu tanda anggota Muhammadiyah pada Pejabat Walikota Payakumbuh, H. Jasman Rizal, M.M. Kartu resmi anggota Muhammadiyah itu diserahkan langsung oleh Wakil Ketua Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat, Prof. Dr. Ismail Novel, M.Ag.

Dalam sambutannya, Pak Jasman Rizal menyampaikan rasa bahagia setelah bertahun-tahun menginginkan tercatat resmi sebagai warga Muhammadiyah. “Kalau boleh disebut saya ini Muhammadiyah kultural sebab secara kultural lahir dan tumbuh dari keluarga Muhammadiyah di Balai Salasa, Pesisir Selatan,” ujar Mantan staf ahli Gubernur Sumbar bidang Hukum, Politik, dan Pemerintah ini. Diakuinya bahwa dirinya sudah lama mempelajari dan menyaksikan langsung bukti-bukti amal dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah. “Saya sudah lama ingin berkiprah dan bergabung secara resmi dengan Persyarikatan Muhammadiyah, namun jalan untuk masuk ke rumah besar Muhammadiyah itu tak saya tidak tahu,” ujarnya.

Saya menyakini bahwa pengalaman Pak Jasman Rizal itu juga dialami oleh banyak kaum muslimin di negeri ini. Penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam secara kultural bisa disebut sebagai pengikut Muhammadiyah. Pernyataan ini bukan tanpa alasan sebab diantara penanda pengikut Muhammadiyah itu adalah memiliki kesadaran rasional dalam mengamalkan ajaran Islam. Islam diamalkan didasarkan pada ilmu, bukan berpijak pada kebiasaan “Aaba Anaa” atau nenek moyang tanpa peduli apakah sejalan dengan syariat Islam atau tidak (Baca surah al-Baqarah, 2:170). Bagi pengikut Muhammadiyah, pengamalan Islam itu juga mesti disyiarkan dengan gembira sebagai pembuktian dari hati yang bertaqwa (surah al-Hajj, 22:32).

Di usianya yang telah melampaui satu abad, gerakan syiar Islam melalui berbagai tradisi sosio-ritual atas prakarsa Muhammadyah melalui pendirinya Kiyai Dahlan yang sebelumnya menuai penolakkan justru kini diterima luas di Indonesia. Bahkan, sulit mencari padanannya di berbagai belahan dunia lain di antara negeri-negri muslim. Tradisi sosio-ritual adalah berbagai kegiatan sosial yang lahir sebagai pembuktian iman kepada Allah Ta’ala, seperti pembinaan kesehatan, pendidikan, santunan sosial, dan kedermawanan sosial (filantropi).

Tak bisa dipungkiri, Muhammadiyah yang pertama kali memulai partisipasi publik dalam membangun gedung sekolah melalui penggalangan donasi berupa infak, shadaqah, dan zakat. Muhammadiyah juga mempelopori pembangunan masjid dan musholla yang dimulai di tempat-tempat umum, pasar, terminal bus, dan stasiun kereta api. Tak ketinggalan, Muhammadiyah juga mempelopori pembentukan panitia penyelenggara Qurban dan mengatur tata keloa pembagian daging qurban bagi fakir miskin, pembagian zakat, dan ibadah haji. Muhammadiyah juga mempelopori pengajian agama secara terbuka atau tabligh akbar keliling, penyampaian khutbah Jum’at dalam bahasa daerah, seperti bahasa Jawa dan Melayu, yang berbarengan dengan penerjemahan kitab suci Al-Qur’an ke dalam kedua bahasa daerah itu. Saat Muhammadiyah berdiri pada 1912, bahasa Indonesia belum terbentuk dan belum juga ada apa yang disebut negara bernama Indonesia.

Kembali pada istilah Muhammadiyah Kultural. Seringkali orang berseloroh bahwa secara kultural kaum Muslimin di Indonesia ini adalah pengikut Muhammadiyah kerena sudah mengikuti apa yang telah dipelopori oleh Muhammadiyah, meskipun itu ditolak di masa lalu. Di masa lalu, Muhammadiyah pernah dituduh sebagai bagian dari “Kristen halus” hanya kerena mendirikan panti asuhan untuk mengayomi anak-anak yatim, mendirikan klinik dan rumah sakit. Sebelumnya, pendirian panti asuhan, klinik kesehatan dan rumah sakit adalah gerakan sosial yang mudah ditemukan dalam komunitas Kristiani dan banyak dilakukan oleh bangsa-bangsa kolonial.

Setelah satu abad kemudian, berbagai kegiatan Muhammadiyah itu mulai ditiru dan diapresiasi, terutama saat Orde Baru mulai memakai bahasa agama dalam menggerakkan rakyat untuk mendukung program-program pembangunannya.

Seiring dengan tumbuh kembangnya beragam jasa amal usaha Muhammadiyah (disingkat dengan AUM) baik di bidang pendidikan, kesehatan, dan bidang lainnya, yang semunya menyerap tenaga kerja dan melibatkan masyarakat, maka orientasi dakwah Muhammadiyah mesti diarahkan secara serius untuk pembinaan komunitas AUM ini. Ditambah lagi dengan jumlah para jamaah yang memilih masjid dan musholla Muhammadiyah sebagai tempat ibadah rutin mereka. Mereka yang berhimpun di berbagai AUM itu tidak seluruhnya berasal dari orang-orang yang menjalani pembinaan formal keorganisasian di Muhammadiyah. Boleh jadi. sebahagian besar diantaranya berasal dari kalangan Muhammadiyah kultural.

Secara matematis ada lebih dari 120-an juta jiwa pengguna jasa amal usaha Muhammadiyah. Mereka relatif memiliki ikatan emosioanal dengan panti asuhan, sekolah, kampus, rumah sakit, dan masjid/musholla Muhammadiyah yang tersebar di seantero Nusantara. Muslim Indonesia adalah pengikut kultural Muhammadiyah, meskipun secara sosial masih ada percikan kontra gerakan ini terhadap pemikiran resmi Muhammadiyah. Namun, kini taka da lagi warga yang menolak sistem sekolah dan pengobatan modern, mengorganisir pengurusan zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) melalui lembaga amil zakat, dan menyelenggaraakn qurban melalui kepanitian. Potensi ZIS juga diakui sebagai salah satu sumber penting pemberdayaan sosial dan ekonomi umat.

Ketika tradisi sosio-ritual yang dipelopori Muhammadiyah telah berterima di masyarakat, dakwah Muhammadiyah perlu ditata dan dikemas sesuai tingkat kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Dakwah tak hanya menyasar ranah pengetahuan (kognisi), melainkan menyasar kebutuhan hidup masyarakat dan berjalin berkulindan dengan tata nilai-nilai yang tumbuh sebagai tradisi hidup masyarakat. Strategi dakwah seperti ini diisyaratkan al-Qur’an dalam Surah Ibrahim ayat 4 yang menunjuk pada perlunya memperhatikan kebutuhan dan tatanan sosial budaya masyarakat (lisaani kaumih) dalam berdakwah.

Tanggung jawab dakwah tidak lagi diembankan ke pundak Majelis Tabligh, tetapi seluruh komponen mengambil peran sebagai aktivis gerakan yang menggerakkan dakwah untuk melakukan perbaikan menyeluruh di bidang sosial-ekonomi umat.

Semua aktivitas bermuhammadiyah, tak terkecuali aktivitas di AUM, mesti berjalan di atas jalan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan berada dalam bingkai dakwah. Pengelola AUM bisa menyelenggarakan dakwah berbasis kecakapan hidup. Sasaran dakwah kecapakan hidup ini adalah para pelajar, mahasiswa, mantan pasien, dan keluarga besarnya. Targetnya adalah membuat sasaran dakwah mampu mengelola hidup sehari-hari sesuai syari’at Islam dan mampu memenuhi hajat hidup standar, seperti kemampuan mengolah sumber daya alam sehingga bernilai ekonomis.

Kepada sasaran dakwah itu kita mesti menunjukkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang menghidupkan (baca surah al-Anfal, ayat 24). Wujudnya adalah agama Islam itu agama yang menghidupkan hati agar kenal dengan Allah Ta’ala, menghidupkan akal untuk mampu menjadi pengelola bumi ini, dan menghidupkan ekonomi agar manusia bisa hidup mandiri. (IN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *