Sosok Nan Berani Itu Bernama Haji Abdul Karim Amrullah “Inyiak DR”

Penulis: Dr. H. Zul Ikromi, Lc., MA | Editor: Habibur Rahman

BIOGRAFI, KHAZANAH363 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID,  Khazanah – Dr. H. Abdul Karim Amrullah atau yang juga dikenal dengan nama Haji Rasul merupakan seorang ulama terkemuka sekaligus tokoh reformis Islam yang sangat prestisius pada masanya. Ia juga tercatat merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.

Sepulangnya dari Makkah, Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah, Ayah Buya Hamka) sangat menentang kaifiyat-kaifiyat tarekat yang dianggapnya bid’ah, padahal ayahnya sendiri (Syaikh Muhammad Amrullah Tuanku Kisa’i Maninjau) merupakan seorang Mursyid tarekat Naqsyabandiyah.

Setelah Ayahnya wafat, para penghulu, alim ulama, dan tuangku-tuangku di seluruh Danau Maninjau berkehendak untuk membuat ‘tahlilan‘ Ayahandanya. Namun Inyiak Dr. (gelar lain Haji Rasul) menyatakan dengan pendirian yang tegas, bahwa perkara itu adalah haram dalam agama, sama dengan meratap hukumnya. Di samping itu, patut diketahui, bahwasanya gelar “Dr” yang beliau terima bukanlah sembarangan, yakni dari scan dokumen yang pernah ditemui, bahwa diketahui ternyata ayah Buya Hamka, tersebut, mendapatkan gelar anugerah kehormatan Duktur fid Din (Doktor) dari Perkumpulan Ulama Mesir.

Tak bisa dihindarkan, sikapnya ini menjadi sebab pertentangannya dengan ulama-ulama kaum tua di Minangkabau. Tak terkecuali dengan para sahabatnya yang teramat rapat yang pernah sama-sama berguru ke Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Makkah, seumpama Syaikh Ibrahim Musa Parabek (Inyiak Parabek) Syaikh Sulaiman Ar-rasuli (Inyiak Canduang), Syaikh Muhammad DJamil DJambek dan Syaikh Jamil Jaho.

Berbicara soal di antara karya polemiknya itu, terdiri dari risalah yang berjudul Qathi’ Riqab Mulhidin, yang menghantam pengajian Nur Muhammad dan Martabat Tujuh. Tak tanggung-tanggung, pada sampul bukunya itu ia menyindir ulama-ulama yang dimaksud dengan kalimat “ini risalah pemagar diri, supaya jangan tertipu oleh para pembual, yang bersorban besar, menjinjing tasbih, menjual tarekat kosong.”

Namun, rupanya telah menjadi kehendak zaman di kemudian hari pendirian kerasnya itupun berubah. Bila ada murid-muridnya yang memperkarakan masalah khilafiyah itu, cepat dicegah nya. Maka kata Syaikh Jamil Jaho, ” Hanya dalam hal-hal furu’ kami berlain pendapat. Namun dalam pokok agama, kami tidak pernah berselisih.”

Suatu ketika Haji Rasul, Inyiak Canduang dan Inyiak Parabek diundang untuk memberi penerangan agama ke daerah Solok. Sampai dekat Sitinjau Laut, rusaklah mobil yang mereka tumpangi. Mereka bertiga turun dari mobil, sembari melihat indahnya alam terkembang dari atas Sitinjau.

Saat itu, Inyiak Canduang berkata ke Haji Rasul, ”Kalau kita bertiga ini telah seperjalanan begini, akan bersatulah alam Minangkabau dan sangguplah menghadapi segala kesulitan.”

Haji Rasul menjawab, ”Sebenarnya, kaji kita tidak ada selisihnya. Apakah akan berselisih kaji orang yang menyauk dari satu telaga. Hanya saja, kadang-kadang, salah paham murid-murid menyampaikan yang menyebabkan kita berpisah.”

Saat mendapat kabar Haji Rasul diasingkan ke tanah Jawa dan tidak akan pulang lagi selamanya, keluar perkataan dari Syaikh DJamil DJambek, ” Tidak ada ! Tidak ada lagi manusia yang seberani itu mempertahankan kebenaran. Gelaplah negeri ini, gelap! Jangan disebut juga namanya di dekatku, jangan..! ” Air matanya pun berlinang.

Begitulah, bila ilmu telah bertali dengan iman, yang ada hanyalah cinta.

Penulis : Dr. H. Zul Ikromi, Lc., MA merupakan Dosen Fakultas Syariah UIN Suska Riau. Di samping itu juga aktif di beberapa organisasi keagamaan, antara lain: MUI Prov. Riau, MUI Kota Pekanbaru, ICMI Prov. Riau, Anggota Majlis Ifta’ Perti Riau, Syarekat Islam Prov. Riau, MTT Muhammadiyah PW Riau, dll. Ia menyelesaikan studi S3 Fiqih Muqaran, di Omdurman Islamic Univ. Khartoum – Sudan pada tahun 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *