Sebaliknya kaum radikalis dan ekstremis kiri muncul karena memberi porsi lebih pada kondisi realitas. Sehingga dalam praksis menjalankan agama cenderung melupakan teks dan hanya berpaku pada akal dalam memahami permasalahan agama. Pemahaman beragama bagi golongan radikalis dan ekstremis kiri memberikan ruang seluas-luasnya pada akal. Sehingga otoritas teks suci dari tuhan sebagai sumber beragama menjadi terabaikan. Radikalis dan ekstremis kiri, dalam persoalan agama akan berbicara konteks, relevan atau tidak.
Kedua sebab tersebut memiliki dampak yang sama buruknya. Radikalis dan ekstremis kanan akan melahirkan sebuah gerakan dan tindakan anarkis dalam bernegara. Sedangkan golongan radikalis dan ekstremis kiri akan mencoba mengotak-atik ajaran agama yang bersifat ilahi dengan dalil-dalil yang berdiri di atas nama rasionalitas dan kemanusiaan.
Dengan demikian kedua cara pandang beragama tersebut sama-sama tidak ideal. Oleh karena itu diperlukan titik tengah yang kekinian disebut dengan moderasi beragama. Alasannya sangat sederhana, bahwa semua ajaran agama dipastikan menginginkan kedamaian bagi setiap penganutnya dan orang di sekelilingnya. Apalagi dalam konteks keindonesiaan yang memiliki keberagaman suku, bahasa dan agama, sangat tidak pas bila menjadi radikalis ataupun ekstremis baik itu kanan maupun kiri. Maka beragama secara moderat merupakan pilihan sangat representatif untuk menjawab persoalan bagi setiap penganut agama dewasa ini.
Namun perlu juga dipertanyakan, dengan giatnya pemerintah membumikan gagasan moderasi beragama, apakah ujungnya sebatas toleransi bagi setiap penganut agama?. Jika benar, maka sangatlah sempit pemahaman akan moderasi beragama di kalangan pemangku jabatan negeri ini. Sangatlah tidak pas apabila moderasi beragama hanya terpaku pada tatanan konsep yang dipakai oleh para penganut agama. Dalam status seperti itu, moderasi beragama terputus pada pemahaman tidak berlebih-lebihan saja.
Penulis mencoba memaknai lebih luas soal moderasi beragama ini. Penulis merujuk kepada pemikiran Kuntowijoyo dan memakai istilah yang ia gunakan dalam merumuskan ilmu sosial profetik. Memang dari segi landasan pemikiran Kuntowijoyo berangkat dari Alquran surat Ali Imran ayat 110. Namun kali ini, penulis mencoba merekonstruksi nalar kritis Kuntowijoyo tersebut dan mengawinkannya dengan moderasi beragama sebagai produk untuk menghasilkan kedamaian umat beragama.