Jejak Salafisme Muhammad Abduh di Indonesia

KHAZANAH503 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, Khazanah – Revivalisme menjadi term yang berbeda dalam sejarah politik, karena gagasan ini hendak meletakkan pemikirannya pada keyakinan agama yang dikonversi menjadi semangat perubahan sosial, itumanaya dalam merespon ketertinggalan umat Islam atas kemajuan Eropa.

Sampai dengan runtuhnya Baghdad pada abad ke XIII, politik Islam sebenarnya tidak benar-benar musnah. Ada tiga pusat kekuasaan Islam yang tetap eksis, yaitu Utsmaniah (Turki), Safawi (Iran), dan Mughal (India). Selain itu juga masih banyak berbagai kekuasaan kecil yang bersifat lokal. Baru pada abad XVIII, seiring kemajuan Eropa dalam teknologi dan industri, dan politik kolonialisme-imperialisme, kekuasaan Islam meredup dan kesulitan bertahan. Bahkan pada aba XIX, kolonialisme Eropa mencengkeram dunia Islam sebentang ujung Barat di Maroko, hingga ujung timur di Indonesia. Sedangkan penguasa Islam terbesar, Sultan Mahmud II (Utsmaniah), dan Muhammad Ali (Mesir) nampaknya juga mulai realistis menghadapi kemajuan organisasi dan teknologi Barat. Sebelum puncaknya kelak pada abad XX, keduanya bermetamorfosa menjadi negara nasionalis.

Realitas di atas mendorong lahirnya berbagai pemikiran politik baru. Beberapa kalangan muslim berpendapat, bahwa kelemahan ini berpangkal pada cara beragama yang telah bercampur dan tidak murni lagi. Misalnya direpresentasikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792 M) di Arab, dan Syah Wali Allah (1702-1762 M) di Mughal. Dari sekian pemikiran yang muncul adalah gagasan tentang perlunya merevisi orientasi keagamaan, kepada cara beragama yang murni, yang hanya dipraktikkan pada masa awal sejarah perkembangan Islam (Salaf ash shalih). Sufi dan tarerkat yang menjadi tradisi beragama umat Islam, menjadi sasaran empuk pemikiran ini. Kedua entitas ini disebut berperan besar dalam kemunduran umat Islam sejak abad XIII. Gerakan kontra sufi, tarekat dan tradisi ini kelak dikenal dengan istilah Salafi. Gerakan Salafi pada prinsipnya adalah ide revisi agama, dengan menolak sama sekali, segala hal yang tidak dipraktikkan pada masa Salaf as-shalih, seperti bid`ah dan khurafat. Ibn Taymiyyah (1263-1328 M), diyakini sebagai peletak dasar Salafi pada abad ke XIII. Kemudian pada abad ke XVII muncul Syaikh Abdul Wahab, dan dikonversi oleh Gerakan revivalisme pada abad modern oleh Jamal Ad-Din al-Afghani (1838-1897 M). Satu diantara murid terpenting Afghani adalah Muhammad Abduh (1849-1905 M), yang menterjemahkan pemikiran Afghani dalam berbagai bidang, terutama agama dan politik. Abduh pula yang kemudian dikenal sebagai peletak ide global Salafisme

Global Salafisme: Pertautan antara revivalisme, modernisme, puritanisme, dan revisionisme – Dalam pandangan umum, berbagai terminology di atas seringkali disimplifikasi menjadi satu bagian yang sama. Meskipun memiliki pengertian yang berbeda, tetapi memang sama-sama menunjukkan pertautan yang ada pada ide Salafisme. Revivalisme adalah ide tentang kebangkitan Islam, perlunya menelaah lebih jauh ajaran Islam, menjadikannya sebagai cara membentuk sistem dan organisasi politik, agar dapat ikatan semangat bersaing dengan Barat. Revivalisme melahirkan Islam ideologis yang kemudian dikenal sebagai Islamisme. Dalam pandangannya, hukum perundang-undangan dan sistem ketatanegaraan ada petunjuknya dalam Quran dan hadits. Modernisme adalah ide tentang perlunya umat Islam berfikir modern, rasional dan teknologi, untuk mencapai kemajuan. Puritanisme, adalah satu cara berIslam yang murni, yang terbeas dari tradisi, sufi, tarekat bahkan terbebas dari mazhabi, dan hanya menjadikan Qur`an-hadits sebagai pegangan. Puritanisme merupakan ciri yang paling melekat dari nalar Salafisme. Salaf dianggap hanya terjadi sampai dengan dua abad pertama perkembangan Islam. Revisionisme, usaha menolak segala macam tradisi bermazhab, dan Kembali pada ijtihad langsung.

Jika disederhanakan, ide Salafisme yang suduh muncul pada era Ibnu Taimiyyah, menemukan kembali momentumnya dalam gagasan revivalisme Afghani. Gagasan Afghani diterjemahkan ulang oleh Muhammad Abduh dan Rasyid RIdla, Salafisme kemudian berimplikasi pada tiga hal: pertama, Salafisme merupakan gagasan politik modern dalam sejarah umat Islam, yang bicara tentang solidaritas muslim global, yang kelak juga menginspirasi Gerakan khilafiah Islam (imperium muslim). Kedua, kesadaran agama yang kebih dari sistem kepercayaan, bahkan istilah Islamisme merujuk pada keyakinan bahwa Islam mengandung sistem dan perangjat yang lengkap tentang segala hal kehidupan. Ketiga, islam menjadi identitas dan entitas yang independent yang padanya berdiri sebagai rival Barat, bukan lagi vis a vis dengan agama, tetapi Barat sebagai sekumpulan hegemoni politik, sosial, budaya dan ekonomi

Salafi modernis Salafi konservatif – Menariknya Salafisme mengusung modernisme dan puritanisme sekalgius, progresifisme tetapi konservatif juga. Hal-hal yang apabila ditelaah lebih dalam, akan sangat mudah menemukan kebertolakbelakangnya. Pada akhirnya terjadi juga polarisasi Salafi modern dan konservatif.

Salafisme pada mulanya memiliki tiga gagasan pokok: 1) kembali pada ajaran agama yang murni, 2) melawan kolonialisme Barat, dan 3) modernisasi berfikir seperti barat (Munawir Sjadzali, 1990: 116). Sebagaimana ditulis oleh Hilal Basya (2020: 1), Salafisme tidak selalu utuh atau sama. Terkadang ada ketegangan di antara para Salafis sendiri, dalam menekankan pada tujuan mana yang diprioritaskan, sehingga lahirlah berbagai varian Salaf. Tiga orientasi Gerakan ini pada akhirnya membedekan kecenderungan yang memiliki corak berbeda pada masing-masing varian. Misalnya apakah nasionalis ataukah khilafah. Apakah konservatif dengan cara hidup yang menolak sama sekali kebaruan teknologi ataukan inofatif pada cara berfikirnya. Apakah menolak sama sekali tradisi local, ataukah akomodatif. Apakah berijtihad murni, atau Sebagian menggunakan mazhab bila memangrelevan.

Secara umum, varian Salafi dapat dibedakan menjadi dua, yakni konservatif, dan modernis. Satu diantaranya bersikap ekstrim, yang lain moderat. Salafi ekstrim misalnya tercermin dalam sikap tidak mau menggunakan segala teknologi Barat, hanya menggunakan cara-cara hidup yang persis pada era Salaf, bahkan sampai model fashion yang dipilih. Tidak berpartai dan berdemokrasi. Mendukung khilafah dan menolak nasionalisme (shuubiyah, dan taghut). Varian ini misalnya diperankan oleh kelompok Hizb at Tahrir, Jemaah Islamiah, Anshoru at-Tauhid. Sedangkan Salafi modern lebih moderat. Umunya mangambil ruh dan cara berfikir yang rasional, membangun argumentasi dan sistematika berfikir ijtihad, membangun berbagai amal usaha sabagai transmini gagasan Islamismenya seperti melalui layanan pendidikan dan kesehatan, atau saluran partai politik. Varian ini, misalnya diperankan oleh Muhammadiyah dan Tarbiyatul Islam.

Fenomena Islamphobia – Islamophobia menandai babak baru politik Islam dan kontestasi global. Pemberitaan pers, umumnya yang ada di Barat, gencar memberitakan berbagai tindak kekerasan yang dihubungkan dengan Islam. Salafisme (yang ekstrim) dalam salah satu doktrinnya memang memperbolehkan kekerasaan untuk menegakkan amar ma`ruf nahi munkar. Terorisme dan kekerasan pada satu bagian, tergerak oleh ide Islamisme, dan sentiment anti Barat. Meskipun ada faktor-faktor lain, tetapi terorisme dianggap akumulasi dari keinginan bersaing dengan Barat, dan implementasi gagasan Salafi. Persinggungan budaya, dan konflik Isral-Palestina terus menjadi sorotan dalam pergulatan politik Islam modern.   

Khilafah merupakan satu mozaik dari fragmen politik Salafi. Terorisme merupakan efek karambol dari Islamisme ekstrim. Meskipun mayoritas kalangan Islam menolak tuduhan semacam itu, tetapi secara geneologis akar kekerasan ditemukan dalam gagasan Salafi. Meskipun kelompok ini juga cenderung minor, yakni Salafi ekstrim konservatif. Sedangkan Salafi modern umumnya jauh lebih moderat dan memiliki pemikiran maju, dan sangat bersaing dalam berbagai amal usaha.

Pemikiran Politik Muhammad Abduh dan Dampaknya di Indonesia – Tanpa mengurangi peran para founder Salafisme yang lain, seperti Ibn Taymiyyah, Syaikh Abdul Wahab, maupun Afghani, tetapi Muhammad Abduh memiliki peran special dalam perenannya menyajikan Salafisme dalam bentuk yang berbeda. Salafisme yang dikemukakannya bersifat global, oleh karena pemikirannya terdokumentasikan melalui al urwatu al wutsqa dan al-manaar. Abduh memiliki kepengaruhan luas, dan terutama melalui muridnya Ridla, Salafisme puritanisme-ekstrim menyebar luas ke berbagai penjuru dunia Islam. Muhammad Abduh merupakan modernis yang berusaha menyelaraskan antara ajaran Islam dengan nilai-nilai kemajuan dan perkembangan zaman. Muhammad Abduh dididik dalam tradisi keislaman yang baik. Ketajamannya memungkinkan Abduh mendalami pemikiran ilmu pengetahuan modern dan perubahan sosial-politik di dunia Islam dan Eropa.

Salafisme Abduh terfokus pada pembaruan pemikiran Islam, sebagai modernis yang percaya bahwa pembaruan pemikiran adalah kunci menghadapi tantangan modernitas. Islam dipahami melalui penalaran rasionalisme sesuai konteks zaman, bukan hanya mengikuti taqlid terhadap tradisi dan tafsiran lama. Dalam hubungan politik antara Abduh percaya konsep syura. Penguasa harus bertanggung jawab kepada rakyat dan menjalankan pemerintahan dengan keadilan. Pemikiran politik Abduh mencerminkan aspirasi nasionalisme. Penjajahan menurutnya merusak martabat dan kehormatan umat Islam. Ia menyokong perjuangan kemerdekaan negara-negara muslim.

Gagasan pembaruan dan kemandirian dalam interpretasi agama menginspirasi banyak ulama Indonesia. Pemikiran politik Muhammad Abduh memiliki dampak yang signifikan di Indonesia. Kontribusinya dalam perkembangan pemikiran Islam, munculnya gerakan modernis, penguatan identitas Islam Indonesia, dan dukungannya pada perjuangan kemerdekaan membuatnya menjadi sosok penting dalam sejarah intelektual dan politik Indonesia. Nilai-nilai toleransi, kesatuan, dan keadilan yang ia sebarkan masih menjadi inspirasi bagi banyak kalangan dalam menyongsong masa depan Indonesia yang lebih baik.

Alotnya Negosiasi Terhadap Tradisionalisme – Di Timur Tengah pergesekan sesama umat Islam sering terjadi antara Salafi, Sunni dan Syiah. Tetapi di Indonesia, dinamika dan perebutan wacana dalam ruang sosiaol politik dan budaya terjadi antara Salafisme modern dengan tradisionalisme. Sejak pertamakali di adopsi pada zaman kebangkitan nasional, gagasan Salafi tidak mudah untuk serta merta diterima masyarakat muslim di Indonesia. Pergesekan ini misalnya terjadi dalam konflik Padri di Padang. Bahkan sampai pada masa kontemporer ketika Salafisme yang diperankan organisasi modern seperti Muhammadiyah dan Tarbiyah mencapai keberhasilan di berbagai bidang pelayanan umat, secara kuantitas tidak pernah melebihi kelompok tradisionalis. Bahkan meskipun menyandang sebagai organisasi Islam modern terbesar di dunia, sulit bagi Muhammadiyah memenangkan kontestasi sosial politik berhadapan dengan kelompok tradisionalis. Kompetisi dan rivalitas di setiap ruang sosial keumatan selalu terjadi diantara keduanya. Sementara salafisme konservatif, tanpa mengurangi arti pentingnya, agak terhambat berkembang di Indonesia.

Tradisionalisme terlalu mainstream dalam nalar agraris untuk ditaklukan Salafi yang urbanis. Kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa factor. Boleh jadi karena pola keberagamaan di Indonesia umumnya merupakan kompromi atas animism dan dinamisme pada masa nusantara pra Islam. Boleh jadi karena proses Islamisasi Walisongo bersifat melalui akulturatif. Atau mungkin tradisionalisme telah menjadi institusi sosial politik yang mapan, yang agraris, yang cenderung pada cara beragama ritualis dan harmonis. Atau mungkin bagi tradisionalisme sendiri, Salafi dianggap mengancam nilai lokalitas. Satu kesimpulan yang pasti adalah, bahwa tradisionalisme telah menjadi hambatan terbesar perluasan jejaka Salafisme di tanah air hingga saat ini.

Sebagaimana sudah disunggung di awal, Salafi di Indonesia lebih cenderung bercorak modern, bersifat nasionalis dan moderat, yang puritan tetapi akomodatif. Konvergensi beragama antara Salafisme dengan tradisionalisme, mulai terlihat dan diramalkan akan semakin menguat pada masa mendatang. Dalam berbagai isu, misalnya soal komitmen nasionalisme, menolak kekerasan keduanya memiliki pandangan serupa. Yang juga menarik adalah transformasi ideologi Salafisme belakangan mulai berubah, misalnya dalam terminology Pos-puritan, yakni sebuah cara pandang purifikasi agama, tetapi dengan mengambil bagian yang prinsip saja. Ritual keagamaan yang bernilai baik boleh diterima, misalnya wirid, dan kenduri yang bersifat local. Transformasi lain adalah dalam term Neo modernis. Neo modernis menandai satu cara berfikir modernis dalam beragama, menggunakan kaidah-kaidaha rassionalisme, ijtihad dan bebas taqlid, tetapi dengan tidak lagi tradisi ijtihad mazhab (turats). Tradisi keilmuan tetap boleh dipergunakan selama relevan dan kontekstual. Transformasi penting juga terjadi di kelompok tradisionalis, setelah munculnya term post-tradisionalisme. Term ini menunjuk pada pengertian, bahwa dalam memegang teguh konservatisme tradisi yang rigid, tetap harus mengedepankan penalaran rasional, kemaslahatan, dan kebaruan, sebagaimana digaungkan Salafisme.

Bahan bacaan:

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta:UI Press. 1990.

Basya, Muhammad Hilali. Muhammadiyah dan Salafisme di Masa Transisi Demokrasi Indonesia: Perlawanan Cendekiawan Muhammadiyah terhadap Revivalisme Islam, Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah. 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *