Penulis: Irwandi Nashir
Penggiat Literasi/Dosen IAIN Bukittinggi
MINANGGLOBAL.ID, KHAZANAH – Senin pagi (9/2/2015) dihadapan 800 peserta Kongres Umat Islam (KUI) VI di pelataran Kraton Kasultanan, Yogyakarta, terjadi hal yang mengejutkan peserta. Pasalnya Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuono X menjelaskan sekaligus mengkonfirmasi hubungan antara Kesultanan Yogyakarta yang sebelumnya bernama Kesultanan Demak dan Khilafah Utsmani.
Sri Sultan menjelaskan bahwa Raden Patah dikukuhkan sebagai Sultan Demak Pertama oleh Sultan Turki pada 1479. Sultan Demak pertama ini juga dikukuhkan sebagai Khalifatullah di Tanah Jawa atau perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaaha illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Dikatakan Sri Sultan, duplikatnya masih disimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.
Lalu, ketika diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey.
Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa Belanda. “Dari kongres inilah benih-benih dan semangat kemerdekaan membara,” tegas Sri Sultan.
***
Hubungan khilafah dengan Nusantara setidaknya telah bermula sejak masa Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Budha yang beribu kota di Palembang itu pernah dua kali mengirimkan surat kepada Khilafah Islam di era Khilafah Umayyah. Pertama pada masa Khalifah Muawiyah I (661 – 680 Masehi). Lalu, surat kedua dikirimkan kepada Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (berkuasa 717 – 720 M). Surat kedua ini didokumentasikan oleh Abdul Rabbih (860-940 M) dalam karyanya “Al-Iqdul Farid”. Potongan surat tersebut berbunyi: “…Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.” Surat-surat itu diperkirakan diterima Khalifah sekira tahun 100H/717M.
Dua surat di atas menjadi bukti titik awal Islam masuk ke Nusantara meskipun juga Raja Sriwijaya beserta jajaran pemerintahannya sudah berinteraksi dengan para pedagang Islam yang datang ke Nusantara.
Sejarawan Nicko Pandawa dalam risetnya menyimpulkan bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara sejak masa Khulafaur Rasyidin. Data sejarah ini menunjukkan Islam masuk ke Indonesia pada awal-awal beradaban Islam (abad ke-7); bukan abad ke-13 seperti yang dinyatakan Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje yang terlanjur ditelan mentah-mentah dan dicantumkan dalam buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.
Perlahan tapi pasti, seiring penerimaan masyarakat secara masif terhadap dakwah Islam, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha berganti menjadi berbagai kesultanan Islam. Di Aceh, berdiri kerajaan Islam pertama yang bernama Kerajaan Samudera. Kerajaan ini kelak menjadi Kesultanan Samudera Pasai dengan rajanya bernama Meurah Silu. Meurah Silu bertahta sekira (659-688 H/1261-1289 M) dan mendapat gelar Sultan Malikush Shalih dari Syarif Makkah semasa era Turki Saljuk (40 tahun sebelum diteruskan Turki Utsmani).
Para penguasa Muslim di Nusantara jamak mendapatkan gelar sultan dari Syarif Makkah, atau dalam bahasa sekarang Gubernur Makkah. Syarif Makkah mendapatkan mandat dari Khalifah untuk melakukan itu. Catatan sejarah, seperti yang dikutip Azyumardi Azra, mengungkap Penguasa Banten Abdul Qadir (berkuasa 1625-1651), pada 1638 menerima anugerah gelar sultan dari Syarif Makkah. Pangeran Rangsang, penguasa Mataram, pada 1641 juga mendapatkan gelar Sultan dari Syarif Makkah selanjutnya lebih terkenal sebagai Sultan Agung. Begitu pula Kesultanan Aceh, lalu Kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Makkah.
Khilafah Turki Usmani juga berjasa dalam upaya mengusir penjajah Portugis dari Nusantara. Melalui arsip nomor E-8009 yang disimpan di museum arsip istana Topkapi terdapat surat dari Sultan Kesultanan Aceh Darussalam (penerus Kesultanan Samudera Pasai) ketiga Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (berkuasa 1537-1571), yang ditujukan kepada Khalifah Sulaiman al-Qanuni di Istanbul pada tahun 1566. Dalam surat itu ia menyatakan janji setianya (bai’at) kepada Khilafah Utsmaniyah dan memohon agar dikirimi bantuan militer ke Aceh untuk melawan Portugis yang bermarkas di Malaka.
Lalu, Salim II sebagai pengganti Khalifah Sulaiman al-Qanuni, mengabulkan permohonan Sultan al-Qahhar dan mengirimkan bala bantuan militer ke Aceh. Dalam surat balasannya kepada Sultan Aceh itu, Khalifah Salim II menulis bahwa melindungi Islam dan negeri-negeri Islam adalah salah satu tugas penting yang diemban oleh Khilafah Utsmaniyah. Khalifah Salim II pun menunjuk kepala provinsi (sancak) Alexandria di Mesir, Kurdoglu Hizir Reis, untuk menjadi panglima perang dan dikirim ke Aceh demi memerangi kaum kafir Portugis dengan pertolongan Allah.
Melalui bantuan yang didapat dari Khilafah Utsmaniyah ini, Sultan al-Qahhar dari Aceh dapat menyerang Portugis di Malaka pada 20 Januari 1568 dengan kekuatan 15.000 tentara Aceh, 400 Jannisaries Utsmaniyah dan 200 meriam perunggu (Amirul Hadi, 2004: 23).
Selain Sultan Aceh, para sultan lain di Nusantara selama abad ke-16 juga beraliansi dan menaruh hormat pada Khilafah Utsmaniyah. Sultan Babullah bin Khairun di Ternate bekerja sama dengan 20 orang ahli senjata dan tentara Khilafah Utsmaniyah ketika memerangi Portugis di Maluku sepanjang tahun 1570-1575 (Leonard Andaya, 1993: 134, 137).
Kerja sama antara kaum Muslim di Maluku dan pasukan Khilafah Utsmaniyah dalam bingkai jihad karena Allah Ta’ala, maka sepeninggal Sultan Babullah penjajah Portugis pun dapat diusir dari Bumi Maluku untuk selama-lamanya. Karenanya, dikubur dan dikaburkan pun sejarah hubung-kait antara Nusantara ini dengan khilafah, jejaknya tetap ada hingga kini.