Semangat PERTI

Penulis: Apria Putra, MA.Hum (Filolog dan Dosen UIN SMDD Bukittinggi) | Editor: Habibur Rahman

KHAZANAH286 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID,  Khazanah – Umur beliau sudah 80 tahun. Saya bertemu beliau ketika menelusuri sejarah Syaikh Ongku Karuang, sosok ulama Ittihad Ulama Sumatera 1916 dan salah seorang penggagas Ittihad Tarbiyah Islamiyah (atau yang kemudian dikenal dengan PERTI).

Sewaktu saya menyebut nama PERTI, semangat beliau menggebu. Dengan terbata-bata, karena faktor usia, beliau berujar “Itu urang-urang hebat, urang-urang siak sajo isinyo, jo urang-urang tarikat”, sambil menepuk meja karena semangatnya. Saya terkesima. Nama PERTI mampu mengembalikan ingatan yang lama-lama tentang keemasan dakwah dan sosok ulama di masa lampau. Beliau lalu bercerita, sewaktu beliau kecil beliau bersekolah agama di Matur, dibawa ayahnya ke sana. Pada waktu-waktu tertentu sekolah beliau dikunjungi oleh Syaikh Abdul Hamid Matur. “Beliau ialah guru besar, pimpinan tertinggi di madrasah tersebut”, ujarnya.

Sewaktu beliau diangkat menjadi guru, dan ditugaskan di Limbukan, beliau hampir rutin menghadiri halaqah Syaikh H. Ruslan Limbukan yang saat itu diadakan di mesjid. Lantas beliau menimpali, “Iko lah nan mambuek ibu kuek baragamo. Kalau ado berkaitan dengan agama, ibu selalu semangat.”

Hal yang membuat saya berkaca-kaca dalam pertemuan siang itu, dimana ibu ini bercerita. Sewaktu belaiu masih belia, beliau sekolah Inpres di bekas MTI Sicincin. Di sebelah gedung itu dimakamkan Syaikh Ongku Karuang. Pusara Syaikh Ongku Karuang, waktu itu dibuatkan kubah, sekelilingnya dibalut dengan kain kelambu, sebagaimana tradisi di kalangan ulama tasawuf. Masyarakat pada ta’zhim dengan pusara Syaikh Ongku Karuang. Sehingga banyak orang-orang tua mewanti-wanti anaknya, agak tidak bercanda dan bermain-main di makam syaikh, karena hormatnya kepada ulama itu. Namun beliau, ibu kita ini, masuk ke dalam ruangan makam dan menyingkap tirai makam. Salah seorang orang tua menegur, “jan bamain-main di situ!“, dijawab ibu ini, “bialah, mudah-mudah bisuak awak maningga dikubuan urang pakai kelambu pulo.” Berkaca-kaca mata saya. Si Ibu berharap wafat dan dimuliakan Allah seperti tuan syaikh tersebut.

Saya berfikir, bagaimana orang-orang dulu menanamkan rasa beragama kepada anak-anak mereka, sehingga membuat mereka kokoh beragama; tidak sekedar hiasan lidah dan tampilan belaka.

Penulis: Apria Putra, MA.Hum (Filolog dan Dosen UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *