Sosok Syekh Tuanku Limopuluah: Ulama Pedalaman Minangkabau yang Berumur Panjang

BIOGRAFI, KHAZANAH, SUMBAR1375 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, SUMBAR – Beliau dikenal dengan sebutan Uwai Limopuluah Malalo atau Syekh Tuanku Limopuluah Malalo (1730-1930), ulama besar tarekat Syathariyah, yang terpandang di masanya. Beliau memiliki jaringan intelektual yang luas dalam peredaran tokoh ulama-ulama Minangkabau yang dahulunya sebagai pusat Syathariyah, maupun di Darek yang dipandang secara gamblang menjadi pesaing Ulakan (Pariaman). Di samping itu, ulama yang satu ini mempunyai karier serta reputasi yang sangat diperhitungkan dalam membidani surau-surau basis tarekat di pesisir maupun di pedalaman Minangkabau (Sumatra Barat).

Gubah Makam Syekh Tuanku Limopuluah Malalo (Uwai Malalo), yang terletak di Duo Koto, Nagari Guguak Malalo, Kec.Batipuah Selatan, Kab.Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat

Dalam jaringan pendidikan keagamaan berbasis Surau beliau yermasuk salah satu tokoh yang berdedikasi cukup besar pada abad XVIII hingga akhir awal abad XX, namun sayang, tak banyak sumber yang berbicara langsung mengenai tokoh yang familiar pada masanya ini. Bukti keterkaitan beliau selanjutnya kita lihat dalam silsilah keilmuan tarekat Syathariyah, di mana cukup banyak ulama-ulama di abad XIX dan XX, yang mengaitkan keilmuan mereka kepada Tuanku Limopuluah ini. Demi melihat sejarah intelektual beliau, kita akan mendapati berbagai macam kesaksian tentang ketokohan ulama ini. Dalam satu besluit Gubernur Jnderal Pemerintahan Belanda, yang dipahat pada sebuah marmer, terdapat inskripsi yang menginformasikan wafat beliau. Beliau dicatat wafat pada tahun 1930, dalam usia yang sangat sepuh, yaitu 200 tahun. Bisa dibayangkan berapa peristiwa besar sepanjang abad XIX telah dijalaninya di usianya yang panjang itu, terutama dalam membina karier intelektual, dalam ranah keulamaan Syathariyah.

Makam Syekh Tuanku Limopuluah Malalo (Uwai Malalo), dan Terdapat Besluit dari Pemerintahan Belanda di Duo Koto Nagari Guguak Malalo, Kec.Batipuah Selatan, Kab.Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat

Bila kita hitung mundur dari informasi wafat Tuanku Limopuluah, kita dapati bahwa tahun kelahiran beliau ialah di awal abad XVIII, tepatnya tahun 1730. Nama kecil beliau ialah Djinang, setelah dewasa yang agak alim digelari dengan Pakiah Madjolelo, dan setelah menjadi ulama terkemuka masyhur disebut dengan Syekh Tuanku Limopuluah Malalo. Ada beberapa versi kisah yang diterima dari sumber-sumber oral di Malalo mengenai sebab pemakaian gelar “Limopuluah” setelah tanda keulamaan “Tuanku”. Yang pasti ungkapan “Limopuluah” merujuk kepada sebuah negeri, yaitu Luhak Limopuluah, salah satu daerah di pedalaman Minangkabau yang termasuk wilayah asal (inti) Minangkabau.

Versi pertama menyebutkan bahwa gelaran “Limopuluah” berasal dari dedikasi intelektual beliau ketika berdebat dengan ulama-ulama “Luhak Limo Puluah” (Kab.Lima Puluh Kota). Inti perdebatan yang dimaksud ialah mengenai permasalahan “Martabat Tujuh”, kajian filosofis dalam tarekat Syathariyah. Sebagaimana disebut dalam beberapa sumber, terdapat polemik yang cukup hangat antara ulama-ulama Darek dengan ulama-ulama Pesisir dalam hal tarekat ini. Ulama Darek kala itu, yang secara genetis dikenal sebagai pembaharu, mengungkapkan kajian “Martabat Tujuh” yang dibawa oleh pemuka syathariyah merupakan satu materi yang rumit, sehingga hanya dapat dipahami dan diajarkan oleh ulama-ulama besar yang mumpuni seperti Syekh Abdurrauf Singkel. Selain itu, pengajian “Martabat Tujuh” yang berkembang di kalangan ulama-ulama masa itu sudah terlalu jauh melewati ranah filsafat metafisika yang rumit, bahkan terkadang bisa membawa kepada kekufuran sedangkan ulama-ulama pemangkunya tidak dipandang begitu alim untuk mengajarkan paham yang pelik ini. Selain itu juga ada sementara kalangan yang mencap kajian ini sebagai celah menjadi zindik, bukan memperdekat, malah memperjauh dari ketuhanan. Tak banyak ulama-ulama syathariyah yang maju ke depan membela ajaran mereka, kebanyakan nampak berdiam diri. Namun tidak begitu dengan Uwai Limopuluah.

Salah satu daerah yang dihuni oleh ulama-ulama ialah Luak Limopuluah (Kab.Lima Puluh Kota), di sana telah dinyatakan sengketa terhadap paham “Martabat Tujuh”. Melihat demikian diadakanlah semacam muzakarah untuk membicarakan paham yang pelik tersebut di muka sekalian ulama-ulama Luak Limopuluah (Kab.Lima Puluh Kota), sedangkan di kalangan Syathariyah diundanglah Syekh Tuanku Limopuluah Malalo sebagai pembandingnya. Setelah dilangsungkan, ternyata Tuanku Limopuluah dapat mempertahankan argumentasinya terhadap “Martabat Tujuh” tersebut, meskipun telah berganti-ganti ulama Limopuluah untuk mendadah sekaligus mendebat pengajian lama itu, tiada yang mampu menjatuhkan hujjah Uwaih. Akhir dari muzakarah itu para ulama Limopuluah mengakui kealiman Syekh Tuanku Limopuluah Malalo, sehingga digelarilah beliau dengan “Tuanku Limopuluah”, yang berarti Tuanku yang telah mempertahankan kaji “Martabat Tujuh” di depan ulama-ulama Limopuluah. Sehingga sebagian orang mengatakan, kalau tidaklah Tuanku Limopuluah, tentu habis sajalah pengajian Syathariyah ini di Minangkabau.

Versi kedua sebab gelaran “Limopuluah” ialah di mana Tuanku ini telah lama menetap dan mengajar di Luhak Limopuluah, yang kini jikalau secara administrasi pemerintahan dinamai dengan nama Kabupaten Lima Puluh Kota Sehingga digelari beliau dengan “Tuanku Limopuluah”.

Mengenai jaringan intelektual beliau, kita tidak menemui satu catatan yang sempurna mengenai guru-guru beliau tempat menimba ilmu. Hal ini telah merupakan implikasi dari kitab-kitab peninggalan beliau yang sebahagian besarnya raib, sehingga informasi, betapa besar pun, tidak bisa kita temukan dari catatan-catatan yang ditinggalkannya.

Dari sumber-sumber yang ada dan pernah diperoleh bahwa disebutkan, Syekh Tuanku Limopuluah pernah menimba ilmu kepada Tuan Syekh Abdullah “Beliau Surau Gadang” (w. 1901), ayah dari Syekh Abbas Abdullah, Padang Japang, Kab.Lima Puluh Kota. Guru beliau ini diketahui sebagai seorang ulama besar, pemimpin lembaga pendidikan tradisional “Surau” yang besar di abad XIX, yaitu Surau Gadang Padang Japang. Syekh Abdullah memiliki rantai keilmuan yang kokoh, sebab beliau telah memperoleh ilmu di Surau Taram, dari Tuanku Syekh Sungai Durian. Guru Tuanku Limopuluah lainnya yang cukup terkemuka di kalangan Syathariyah ialah Tuanku Syekh Abdurrahman Lubuak Ipuah Pariaman, beliau merupakan salah seorang ulama tersohor dalam jaringan ulama Syathariyah, mempunyai sanad keilmuan hingga Syekh Burhanuddin Ulakan sendiri. Cukup lama Syekh Limopuluah di Lubuak Ipuah, sehingga beliau dipercaya Syekh Lubuak Ipuah untuk mengajar murid-murid yang banyak di surau ini. Hanya tokoh ulama ini yang diketahui sebagai tempat pengambilan ilmu Tuanku Limopuluah. Untuk selanjutnya, setelah lama menimba ilmu, Tuanku Limopuluah kemudian kembali ke Malalo dan mendirikan surau terkemuka di kalangan penuntut ilmu belakangan di kaki sebuah gunung. Kemudian hari surau itu dikenal dengan nama “Surau Uwai Limopuluah”.

Sistem belajar yang beliau terapkan di Surau Uwaih ialah sistem kaji duduk (halaqah) di mana murid-murid mengelilingi guru. Materi yang diajarkan mencakup cabang-cabang pokok keilmuan Islam, yaitu fikih, tauhid dan tasawuf, di samping ilmu alat berupa nahwu. Kitab yang diajarkan berupa kitab-kitab klasik di kalangan ulama-ulama mazhab Syafi’i, seperti Minhajutthalibin (karya Imam Nawawi) dalam ilmu Fikih, Awamil dan Fawakih Janiyyah (karya Syekh Khatab) dalam ilmu alat. Kitab-kitab itu disalin dengan tangan oleh murid-murid dari kitab-kitab induk yang berusia lebih tua. Pengajaran tarekat Syathariyah menjadi pelajaran yang populer tentunya di surau Uwai Limopuluah, namun kita tidak menemui catatan kitab-kitab apa yang menjadi rujukan di Surau Uwai, disinyalir, kitab-kitab Syekh Abdurrauf seperti Tanbihul Masyi tetap menjadi pegangan utama.

Jikalau dilihat dengan rentan perjalanan masa hidup beliau, maka dapat ditarik kesimpulan bahwasannya beliau sezaman dengan beberapa ulama besar, diantaranya: Syekh Daud bin Abdullah Al-Fathani, Syekh Arsyad Al-Banjary Dato’ Kalampayan, Syekh Muhammad Nafis Al-Banjary, Syekh Abdus Samad Al-Falimbani

Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan oleh Tuanku Limopuluah dalam mengajar pengajian “tubuh” ialah dalam kesenian salawat Dulang, berupa nyanyian sya’ir-sya’ir dalam bahasa Minang, yang sangat kental dengan pengajian “Tubuh”. Di antara materi salawat Dulang (atau salawat Talam) ini ialah, berikut sya’ir nya tersebut :

Assalamu ‘alaikum e tolan sahabat
O jikalau kito ka mangaji hakikat
Nyawa jo tubuah lah nyato sakabek
Urang mandanga samonyo ingek
Urang ulama banyak nan kiramaik
Lai malainkan suci sungguah Tajali
Banamo Muhammad, banamo Muhammad
Zahir batini, zahir batini
A’yan Tsabitah iyo mangko katantu

Syekh Tuanku Uwai Limopuluah wafat pada tanggal 28 Agustus 1930, dan beliau dimakamkan di ketinggian bukit Malalo, tidak jauh dari suraunya. Sebelum dimakamkan, ketika dimandikan, nampak betapa beliau dicintai oleh masyarakat banyak, hingga air bekas mandi beliau itu diperebutkan orang untuk diambil berkahnya.

Cukup banyak ulama-ulama yang menyandarkan silsilah keilmuannya kepada Uwai Limopuluah Malalo. Sebahagian mereka menjadi pionir dari kalangan ulama Syathariyah di kemudian hari, di antaranya ialah:

Syekh Angku Aluma Koto Tuo Kab. Agam (w.1961). Beliau ialah seorang ulama tarekat Syathariyah di Darek yang mempunyai pengaruh besar, hingga disebut ketika Ulakan tidak lagi menampakkan pengaruh, nyaris Koto Tuo (dalam hal ini Surau Angku Aluma ini) menyaingi posisi Ulakan, bahkan merebut pengaruh Ulakan di kalangan pengikut Syathariyah.

Syekh Pakiah Majolelo, mungkin yang dimaksud dengan Pakiah Madjolelo ini ialah H. Abdul Latief Tuanku Imam Gapuak (1840-1960, dalam usia 120 tahun).

Syekh Mato Aie Pakandangan, Syekh Mato Aie Pakandangan adalah “kiblat” para ulama-ulama besar dulunya. Tak sedikit ulama ternama yang mengembangkan pendidikan agama Islam lewat surau, pesantren dan madrasah di bumi Minangkabau ini pernah berguru dan singgah di Surau Mato Aie, tempat Syekh Mato Aie mengembangkan ilmu. Nama aslinya Muhammad Aminullah bin Abdullah, lahir Senin 1789 M di Kampung Pandan, Kampung Panyalai, Nagari Lubuk Pandan dan wafat Senin September 1926 di Sarang Gagak, Nagari Pakandangan dalam usia 137 tahun.

Syekh Balinduang Pilubang menurut literatur yang beredar beliau berasal dari Marunggi Kuraitaji bersuku Chaniago. Beliau disebut merupakan gerilyawan yang handal pada zaman pra kemerdekaan yang berstatus sebagai pemuka agama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *