Mengenang Syekh Muhammad Arsyad Batuhampar: Paman dari Bapak Proklamator Bung Hatta

Penulis: Apria Putra, MA.Hum (Filolog dan Dosen UIN SMDD Bukittinggi) | Editor: Habibur Rahman

BIOGRAFI, KHAZANAH540 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID,  Khazanah – Anak Siak (santri) saat ini mungkin tidak begitu mengenal Batuhampar (Kab Lima Puluh Kota), Nagari yang lebih selama 150 tahun menjadi pusat ilmu al-Qur’an dan Qira’at Tujuh, serta masyhur sebagai pusat Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah terbesar di zamannya (bayangkan, dalam satu periode suluk, pesuluk di sana mencapai jumlah 400 orang). Kebesaran Batuhampar itu setidaknya dimulai sejak Maulana Syekh Abdurrahman Al-Khalidi Batuhampar (lahir 1777 – wafat 1899). Nama besar beliau ialah “Baliau Keramat Batuhampar”. Adapun ulama yang kita tuliskan kali ini tak lain ialah anak kandung dari Maulana Syekh yang kita sebutkan ini.

Syekh Muhammad Arsyad lahir dan besar di Batuhampar, tepatnya di lingkungan Kampung Dagang (kampung santri) yang dibina oleh ayahnya. Di sana ia besar dan menempuh dasar-dasar pendidikan agama. Ayahnya yang dikenal sebagai ahli ilmu al-Qur’an dan seorang sufi kenamaan telah menempa jiwa Arsyad kecil dengan rasa beragama, sehingga ia kemudian hari juga seperti orang tuanya ini, haus dan cinta akan ilmu agama.

Selain di kampung halamannya, Syekh Arsyad menimba ilmu di Timur Tengah. Tak hanya di Mekkah (yang dikenal sebagai pusat keilmuan saat itu), juga Mesir, Baitul Maqdis, sampai Istanbul. Di samping belajar ilmu agama, beliau juga gemar menziarahi makam para nabi dan ulama shalihin. Kisah perjalanannya di Timur Tengah ia tulis dalam otobiografi-nya yang beliau beri judul dengan “Min Makkah ila-Mishra” (ditulis tahun 1890 M). Dalam ilmu Qira’at, beliau mengkhatam Qiraat Tujuh dari Syekh Abdullah al-Asyi di Mekkah, dan mendapat ijazah. Sedangkan dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah beliau langsung dididik ayahnya sampai mendapat ijazah irsyad, tanda beliau telah diizinkan mengajarkan suluk.

Setelah ayahnya wafat, tampuk kepemimpinan Kampung Dagang berada di tangan Syekh Arsyad. Di samping posisi itu, beliau juga mewarisi jabatan Datuak Oyah, yaitu jabatan dalam adat yang mempunyai tugas membimbing masyarakat dalam bidang agama, termasuk juga fatwa. Kabarnya, di masa Syekh Arsyad, Kampung Dagang semakin berkembang, dan terkenal kemanapun. Anak Siak (sebutan kaum santri di Minang) berdatangan menyauk ilmu ke Batuhampar, bukan hanya berasal dari Sumatera Barat, namun juga dari daerah-daerah lain seperti Riau, Jambi, Medan, Aceh, Bengkulu, bahkan dari semenanjung Malaya. Tak kurang dari 30 bangunan surau (yang umumnya terdiri dua lantai) terdapat di Kampung Dagang. Konon, Anak Siak di Batuhampar kala itu mencapai kisaran seribu orang. Bila malam tiba, lampu-lampu damar menghiasi surau-surau tersebut, menerangi Anak Siak yang mengulang kaji atau membaca al-Qur’an. Bila mereka membaca al-Qur’an di malam-malam hari, bunyinya seperti degungan lebah terbang, saking banyaknya.

Syekh Arsyad dikenal sebagai ulama hafizh al-Qur’an, mahir melagukan al-Qur’an, dan piawai dari Qira’at Tujuh. Dan yang paling penting, beliau ialah ulama Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang berpengaruh luas. Dalam bidang terakhir ini, beliau menampakkan ketajamannya dalam bidang thariqat ketika menaubatkan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Candung. Kata shahibul hikayah, sepulang Mekkah Syekh Sulaiman Ar-Rasuli termasuk golongan yang mengkritik Thariqat Naqsyabandiyah, sebab mengikuti paham gurunya yaitu Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi. Satu kali Syekh Sulaiman datang ke Batuhampar (sebab Syekh Abdurrahman Batuhampar juga merupakan gurunya dalam bidang Tilawah al-Qur’an), Syekh Arsyad menanyai pendiriannya mengenai masalah thariqat. Maka terjadilah bahas antara keduanya. Akhirnya Syekh Sulaiman mengaku di hadapan Syekh Arsyad akan kekhilafannya memahami ajaran-ajaran thariqat, dan mengaku taubat. Sampai, kata penutur sejarah, Syekh Sulaiman menangis di hadapan syekh tersebut. Syekh Sulaiman masuk suluk di Batuhampar dibawah bimbingan Syekh Arsyad sampai memperoleh ijazah. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli kemudian dikenal sebagai pembela Thariqat Naqsyabandiyah di Minangkabau (beliau pernah bermuzakarah masalah thariqat dengan Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh Djamil Djambek, dan Syekh Haji Rasul). Salah satu karangannya dalam membela Thariqat Naqsyabandiyah ialah “al-Aqwalul Wasithah fi-Zikri wa Rabithah”.

Selain bidang agama, Syekh Arsyad juga mempunyai kemahiran yang jarang dimiliki seorang ulama, yaitu arsitektur. Syekh Arsyad piawai dalam membuat sketsa sebuah bangunan juga mengerjakannya. Menara yang ada di Batuhampar saat ini merupakan hasil pekerjaan tangan Syekh Arsyad. Menara ini selesai dibangun tahun 1923, bergaya khas Timur Tengah, lengkap dengan beberapa kamar di bawahnya. Untuk zaman itu, menara seperti ini sudah merupakan suatu yang mahal dan menakjubkan. Di samping itu, Syekh Arsyad juga termasuk khattat. Tulisan Arab-nya indah dan rapi. Juga dalam hal tulis menulis, beliau sangat jelimet. Segala kejadian penting yang beliau alami beliau tulis dalam catatan hariannya, bahkan dalam kitab-kitab yang dibelinya selalu tercantum tanggal dan tempat pembelian. Ini cukup menjadi bukti kerapian beliau dalam tulis menulis.

Dalam catatan ini saya tidak akan menulis keramat-keramat beliau, tapi cukup saya tegaskan bahwa sosoknya sebagai sufi bertuah begitu menjadi buah bibir. Hal lain yang perlu diketahui bahwa beliau ialah bapak tuo (paman) dari Bung Hatta. Beliau berdua sama-sama keturunan Syekh Abdurrahman Batuhampar. Beliau banyak meninggalkan murid yang ‘alim, begitu pula anak yang ‘alimallamah. Di antara anaknya yang ‘alim itu ialah Syekh Arifin Batuhampar, yang menjadi salah seorang pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Syukur, setiap bulan saya selalu ke Batuhampar, merenung sesaat di Gobah Baliau Batuhampar. Di samping itu, pertalian pribadi yang fakir ini dengan beliau terletak pada sanad ijazah Thariqat Naqsyabandiyah. Guru saya, Syekh Alismi Tuanku Boncah, suluk pertama di Batuhampar. Saat itu suluk dipimpin Angku Gobah, sedangkan mursyid ialah Syekh Damrah Arsyadi (anak Syekh Arsyad). Silsilahnya bersambung dengan Syekh Arsyad. Guru saya merupakan murid satu-satunya yang “cemerlang” suluknya saat itu. Dari sekitar 200 orang yang ikut suluk tahun itu, guru saya yang telah di-“izin”-kan oleh mursyidnya.

Penulis: Apria Putra, MA.Hum (Filolog dan Dosen UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *