Komunikasi Politik: Rakyat Tertindas vs Elite Politik

Penulis: Doni Alvariandes (Mahasiswa KPI UIN SMDD Bukittinggi) | Editor: Habibur Rahman

KAMPUS, NASIONAL, OPINI30 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, – Elit politik dapat kita artikan sebagai kelompok kecil yang memiliki kekuatan dan pengaruh dalam berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Mereka menikmati hak-hak istimewa yang tidak dimiliki kebanyakan orang dan sering kali memanfaatkan posisi tersebut untuk kepentingan golongan mereka sendiri. Oleh sebab itu, elit politik sering disebut sebagai kelompok yang tidak hanya menentukan arah kebijakan, tetapi juga kerap memanipulasi populasi untuk mempertahankan kekuasaan.

Dalam peristiwa di kancah perpolitikan, elit politik sering menyasar masyarakat dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah dalam memuluskan aksinya.

Mereka menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi kenyataannya banyak janji tersebut hanya digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Jikalau kita tilik kembali apa yang dikatakan oleh Harold Lasswell, yang mana ia menyatakan bahwa komunikasi politik digunakan untuk menyampaikan pesan dengan tujuan mengendalikan pikiran dan perilaku masyarakat, jadi tahukan kesimpulan nya bagaimana? Nah, elit politik menggunakan janji-janji manis sebagai bentuk propaganda yang dirancang untuk menarik dukungan rakyat, tetapi sering kali tidak diwujudkan dalam kebijakan nyata, bisa banyak bentuk alternatif caranya.

Sejak era Orde Baru hingga pemerintahan saat ini, demokrasi di Indonesia menghadapi banyak tantangan. Salah satu masalah utama adalah korupsi, yang telah menjadi akar dari berbagai persoalan sosial, termasuk meningkatnya angka kemiskinan dari tahun ke tahun. Meskipun Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, rakyat masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan akibat pengelolaan yang buruk, kerakusan elit politik, dan kurangnya akuntabilitas.

Kalau kata Vilfredo Pareto Ekonom Italia, ia menjelaskan bagaimana elit politik, meskipun kecil jumlahnya, memiliki kekuasaan yang signifikan untuk memengaruhi kebijakan dan distribusi sumber daya. Sayangnya, kekuasaan ini sering kali digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, bukan untuk kesejahteraan rakyat yang artinya kepentingan masyarakat itu tidak benar lagi untuk ada. Dan korupsi yang merajalela menjadi bukti bahwa para pemimpin gagal memenuhi sumpah mereka untuk melayani rakyat.

Masalah ini semakin diperparah dengan munculnya isu dinasti politik kalau kita baca konteks kekinian, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan individu di bawah usia 40 tahun mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden dengan syarat pengalaman politik tertentu telah menuai kritik, yang memperlihatkan sarat akan kepentingan keluarga presiden, yakni Presiden RI-Ke 7 yakni Joko Widodo, dan Anwar Usman yang kala itu sebagian Ketua MK, serta anaknya Gibran Rakabuming Raka yang kini malah sudah terpilih.

Ketua Nasional Setara Institute, Hendardi, menilai bahwa putusan tersebut memperkuat dinasti politik Presiden Joko Widodo, yang dinilai mengancam integritas sistem demokrasi di Indonesia. Dinasti politik menciptakan ketidakadilan struktural, di mana kekuasaan hanya beredar di kalangan keluarga atau kelompok tertentu, sehingga menghambat munculnya pemimpin-pemimpin baru yang lebih kompeten.

Lebih kacau dari itu, rakyat Indonesia masih menghadapi berbagai bentuk penindasan, seperti penggusuran lahan tanpa tanggung jawab pemerintah, kurangnya akses terhadap pendidikan yang layak, dan keterbatasan fasilitas perumahan. Padahal, pemerintah seharusnya menjadi pelindung dan penyedia hak-hak dasar bagi rakyat. Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa pemerintah sering kali berlepas tangan terhadap penderitaan rakyat kecil. Situasi ini menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam antara rakyat dan elit politik, yang semakin mempersulit komunikasi politik yang sehat.

Komunikasi politik rakyat tertindas menjadi penting sebagai bentuk pembelaan terhadap hak-hak yang sering kali diabaikan oleh elit penguasa. Sebagaimana dijelaskan melalui sabda Paulo Freire dalam buku “Pedagogy of the Oppressed”, rakyat yang tertindas harus menyadari posisi mereka dan mulai berorganisasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Dan pada akhirnya kesadaran kolektif ini merupakan langkah awal untuk melawan dominasi elit dan memastikan bahwa suara rakyat didengar dalam pengambilan keputusan politik.

Janji-janji yang diucapkan oleh para pemimpin sebelum mereka dikukuhkan sering kali hanya menjadi formalitas yang terlupakan. Sumpah yang diucapkan atas nama Tuhan untuk melayani rakyat seharusnya menjadi pedoman moral yang kuat, bukan sekadar retorika. Demokrasi yang sehat hanya dapat terwujud jika pemimpin memegang teguh prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.

Oleh karena itu, rakyat harus memperkuat posisi mereka dalam komunikasi politik, baik melalui partisipasi aktif dalam proses demokrasi maupun dengan terus mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Sebuah negara tidak akan benar-benar merdeka jika rakyatnya masih tertindas oleh sistem yang tidak adil. Elit politik harus diingatkan bahwa kekuasaan mereka berasal dari rakyat, dan oleh sebab itu, mereka memiliki kewajiban untuk melayani rakyat, bukan memanfaatkannya. Dan kita sebagai civil society harusnya keraskan suara kritis itu hendak menggelegar ia mengganggu kekuasaan yang terkesan menindas, bukan hanya diam dan menyaksikan dan ditimpa dengan kenyamanan yang ada.

Maaf tulisan ini memang kesana-kemari, jadi anggap sajalah ini sebagai instrumen penyampaian suara kecil dari akumulasi ketidakpuasan atas pemerintahan yang bertahta, dan selalu mengabaikan rakyat kecil.

Penulis: Doni Alvariandes (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *