MINANGGLOBAL.ID, Opini – Kampanye merupakan satu dari sekian banyak momen untuk mengemukakan ide dan gagasan kepada masyarakat ataupun komunitas. Kampanye yang dianggap sebagai penggerak opini publik ini beragam bentuknya, mulai politik, gerakan sosial hingga kemanusian. Baru-baru ini, politik tidak hanya terpaku pada politik partai besaran dalam sebuah negara saja, bahkan di kampus pun dalam memperebutkan posisi tertentu dalam organisasi kemahasiswaan tidak lepas dari kegiatan kampanye. Apakah itu berupa pemilihan DEMA Universitas, SEMA Universitas, HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) dll.
Politik mahasiswa di universitas semakin gencar, terutama yang terjadi di UIN Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi setelah kampanye di mulai pada bulan November tahun 2024 kemarin. Media sosial menjadi yang paling banyak diakses oleh mahasiswa. Sehingga media sosial mempengaruhi dunia politik kampus, karena penggunanya merupakan pemilih dalam sebuah proses politik. Hal ini penting untuk dibahas karena bagaimanapun media memiliki kekuatan untuk membentuk opini termasuk juga dalam pemilihan raya mahasiswa ini.
Dalam mewujudkan visi dan misi, berbagai cara dilakukan agar dapat menyeimbangkan bahkan menyaingi lawan. Kampanye yang terus-menerus dilakukan terutama melalui media sosial menimbulkan potensi yang sangat besar dalam menjangkau pemilih. Kampanye politik dan berbagai aktivitas digital lainnya dapat dilakukan hanya dari genggaman tangan yang seringkali memungkinkan calon untuk menyampaikan visi misinya secara langsung dan efisien kepada khalayak luas di lingkup kampus. Meskipun berkampanye secara nyata di kampus terbuka luas, semestinya media sosial menjadi salah satu pilihan efektif bagi pasangan calon untuk mempengaruhi pemilih.
Salah satu cara yang paling banyak digunakan oleh para pasangan calon yakni dengan menggunakan media sosial. Media sosial menyediakan ruang bagi mereka yang berkepentingan untuk berekspresi politik mulai dari membuat trend konten video kreatif hingga poster-poster unik yang menarik perhatian. Namun, di lain sisi dalam penggunaan media sosial sebagai alat kampanye di kampus, kadang kala terdapat penggunaan kata-kata atau hashtag yang dapat memancing perdebatan. Hal ini mengakibatkan tim pendukung lawan yang menyaksikan hal tersebut akan merasa tidak terima, sehingga pada akhirnya bisa saja menciptakan suasana kampus menjadi menegangkan dan mengurangi kenyamanan. Hal ini jika ditanggapi dengan baik oleh mahasiswa berarti menjadi tolak ukur untuk proses pemilu di kampus yang semakin berkembang ke depannya.
Berkaitan dengan hal tersebut, kampus yang memang sebagai ranah ilmu, semestinya bisa menjadi contoh nyata bagi masyarakat luas tentang bagaimana proses pemilu yang baik. Dengan melakukan kampanye yang kreatif, inovatif dan bersahabat yang ditujukan pada masyarakat kampus melalui media sosial, hal ini akan mengantarkan para kandidat dalam menarik dukungan dan atensi masyarakat kampus. Oleh karena itu, setelah upaya berkampanye melalui media sosial ini tentu saja akan menciptakan lingkungan kampus yang lebih demokratis. (HT)