Antara Ijma’, Ittifaq dan Ikhtilaf

Penulis: Fakhry Emil Habib, LC., Dipl. MH. | Editor: Habibur Rahman

KHAZANAH162 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, Khazanah – Mengambil pendapat yang berbeda dengan ijma’, bisa dihukumi kafir, seperti yang mengingkari wajibnya salat. Namun bisa pula sebatas dihukumi fasik (seperti yang mengingkari kebolehan mengusap khuff).

Mengambil pendapat yang berbeda dengan ittifaaq, maka ia syadz. Namun tidak boleh di-tahzir keras, diwaspadai saja. Contohnya adalah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa basmalah tak perlu dibaca saat salat (‘dibaca’, bukan ‘dijaharkan’), ataupun talak berkali-kali dalam satu majlis cuma terhitung talak satu.

Mengambil pendapat yang khilafiyah itu biasa, bahkan meskipun bukan mazhab negeri. Contohnya bahwa suami istri bersentuhan kulit wudhunya tidak batal, subuh tidak perlu qunut, arisan itu haram, minyak bumi itu najis dan seterusnya.

Terkadang, ada perkara yang hukumnya mujma’ alaih, namun bagian di dalamnya mukhtalaf fiih, seperti;

  1. Salat itu wajib secara ijma’, namun membaca membaca basmalah hukumnya khilafiyah.
  2. Makanan yang menjijikkan dan merusak itu haram secara ijma’, namun bekicot dan penyedap dalam mie instan hukumnya khilafiyah.
  3. Riba itu haram secara ijma’, namun penambahan nilai utang jangka panjang dengan mempertimbangkan inflasi mata uang, hukumnya khilafiyah.

Tahzir dalam masalah khilafiyah itu terlarang, meskipun misalnya seperti MUI sebagai rujukan fatwa muktabar di Indonesia telah mengambil sikap, seperti;

  1. MUI mengeluarkan fatwa bahwa rokok tidak haram secara mutlak.
  2. MUI mengeluarkan fatwa kehalalan vaksin.
  3. MUI mengeluarkan fatwa tentang wajibnya zakat penghasilan, perikanan dan jasa.

Apakah tokoh yang mengambil pendapat berbeda dengan MUI bisa disebut fasik sehingga di-tahzir? Allahul musta’aan.

Ada qath’i, ada zhanni. Ada tsubut, ada dilalah. Ada ijma’, ada ittifaq dan ada ikhtilaf. Andai ini sudah didudukkan tentu banyak permasalahan umat yang terselesaikan. Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.

Dari uraian diatas, seyogyanya untuk para mubaligh, jangan sampai malah kita yang memancing awam untuk membenci ulama dengan sebab ketidakbijakan kita dalam menyampaikan ilmu. Mari kita baca tentang nasib seorang alim luar biasa, namun diberi ‘hukuman’ ketika wafat sebab ia mencela Imam Nawawi.

Muamalah itu memiliki skop yang lebih dinamis dan lapang dari pada ibadah. Produk kontemporer juga demikian. Maka sangat ganjil jika ada yang menerima khilafiyah masalah meng-qadha shalat dan batasan aurat, namun anti khilafiyah saat membahas kehalalan deposito, trading ataupun syarth jaz`i.

Penulis: Fakhry Emil Habib, LC., Dipl. MH. Merupakan Pengasuh Program Timur Tengah SMA IT ICBS Payakumbuh dan juga Pembina Yayasan Alhusam Littafaqquh Fiddin, serta Pegiat Kajian Falak di PCI Muhammadiyah Mesir. Di samping itu juga aktif di beberapa organisasi, antara lain: MUI Kab. Lima Puluh Kota, Yayasan Alhusam Littafaqquh Fiddin, IPSI Kota Payakumbuh, dll. Ia menyelesaikan studi S1 Universitas al-Azhar, Syariah Islamiah 2015, dan Post Graduate Diploma (Tamhidi) Universitas al-Azhar Usul Fikih 2017, S2 Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi 2022 dengan Jurusan Hukum Islam, Fakultas Syariah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *