Modernitas vs Tradisi: Dinamika Generasi Muslim di Era Digital

Penulis: Ahmad Fatwa Hutagalung (Mahasiswa IAT UIN SMDD Bukittinggi) | Editor: Habibur Rahman

OPINI218 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, – Perkembangan era globalisasi yang serba cepat telah membawa berbagai tantangan unik bagi generasi milenial Muslim. Mereka berada di persimpangan antara tradisi keagamaan yang diwariskan dari generasi sebelumnya dan modernitas yang diwarnai oleh kemajuan teknologi, perubahan budaya, serta perkembangan sosial. Kondisi ini memunculkan pertanyaan penting: bagaimana generasi Muslim milenial menyeimbangkan identitas keislaman mereka dengan realitas modern yang semakin kompleks?

Generasi Muslim milenial sering kali merasa terjebak dalam dualisme nilai. Di satu sisi, mereka berusaha untuk memegang teguh ajaran Islam yang menjadi landasan moral dan spiritual dalam menjalani kehidupan. Di sisi lain, mereka dihadapkan pada nilai-nilai modernitas seperti individualisme, hedonisme, dan konsumerisme, yang sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Menavigasi kehidupan dalam lingkungan yang heterogen, baik dari segi pendidikan maupun pergaulan, menjadi tantangan tersendiri yang kerap menimbulkan konflik internal.

Namun, keunggulan generasi milenial terletak pada kemampuan mereka dalam memanfaatkan teknologi. Media sosial dan platform digital menjadi alat utama yang digunakan untuk belajar agama, berdakwah, dan berbagi pengalaman spiritual. Misalnya, platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok sering digunakan untuk menyebarluaskan pesan-pesan Islam yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Teknologi juga memungkinkan generasi ini untuk mengakses literatur Islam, mendengarkan ceramah ulama, dan berpartisipasi dalam diskusi keagamaan secara daring. Akan tetapi, teknologi juga membawa risiko, seperti penyebaran informasi yang salah (hoaks) atau penggunaan ruang digital oleh kelompok-kelompok ekstremis.

Dalam menghadapi tantangan ini, moderasi beragama menjadi kunci bagi generasi Muslim milenial. Moderasi, yang merujuk pada pemahaman agama secara seimbang dan kontekstual, memungkinkan mereka untuk tetap memegang prinsip keislaman sambil terbuka terhadap perubahan yang tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Pendekatan ini cocok dengan teori “Renewal in Islam” dari Fazlur Rahman, yang memberitahu kita pentingnya memahami teks-teks agama dalam konteks sosial dan historisnya. Generasi ini tidak hanya menerima tradisi secara pasif tetapi juga berusaha menyaring dan memahami tradisi melalui kajian kritis, membaca tafsir, mempelajari sejarah, dan berdialog dengan ulama.

Di samping itu, generasi Muslim milenial memiliki potensi besar sebagai agen perubahan. Dengan latar belakang pendidikan yang lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya, mereka mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam memberikan solusi atas berbagai masalah kontemporer, seperti isu lingkungan, ketidakadilan sosial, dan pemberdayaan komunitas. Misalnya, banyak gerakan sosial yang dipimpin oleh Muslim milenial menekankan pentingnya keadilan sosial sebagai bagian dari ajaran Islam. Teori Social tampaknya berkenaan dengan hal ini, yang menyatakan bahwa keterlibatan dalam jaringan sosial dapat meningkatkan solidaritas dan kolaborasi dalam masyarakat.

Di tengah dinamika modernitas, generasi Muslim milenial juga menghadapi ancaman terhadap tradisi budaya dan keislaman yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Tradisi, yang didefinisikan sebagai kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun, sering kali terkikis oleh gaya hidup modern. Salah satu contohnya adalah tradisi “makan bajamba” di Minangkabau, di mana masyarakat secara kolektif memasak dan makan bersama dalam satu nampan. Tradisi ini memiliki nilai filosofis dan spiritual yang mendalam, mencerminkan kebersamaan, solidaritas, dan sunnah Rasulullah SAW. Namun, tradisi ini semakin tergeser oleh praktik modern seperti pemesanan makanan melalui layanan daring, yang mencerminkan budaya individualisme.

Menurut Clifford Geertz, agama tidak hanya berfungsi sebagai pedoman moral tetapi juga sebagai simbol budaya yang memberikan makna dan identitas. Tradisi seperti makan bajamba tidak hanya menjadi simbol budaya tetapi juga bagian dari praktik keislaman yang mengedepankan kebersamaan dan keberkahan. Oleh karena itu, peran orang tua dalam mewariskan tradisi ini sangat penting. Orang tua yang memahami nilai budaya dan agama dapat menanamkan kecintaan terhadap tradisi sekaligus agama kepada anak-anak mereka, misalnya dengan mengajarkan pentingnya makan bersama sebagai anjuran dalam Islam.

Generasi Muslim milenial juga menghadapi tantangan dalam mempertahankan nilai-nilai ini di tengah penetrasi budaya global. Namun, optimisme tetap ada, mengingat generasi ini memiliki kemampuan untuk mengadopsi nilai-nilai positif dari modernitas tanpa meninggalkan identitas keislaman mereka. Mereka menjadi jembatan penghubung antara tradisi dan modernitas dengan cara yang kreatif dan adaptif.

Apa yang dapat kita tarik untuk sebagai kesimpulan? Yaitu, generasi Muslim milenial bisa menjadi generasi yang dinamis, inovatif, dan resilien. Dengan memanfaatkan teknologi secara bijak, memahami Islam secara mendalam, dan menyeimbangkan antara tradisi dan modernitas, mereka memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Dalam menghadapi era globalisasi, generasi ini dapat menjadi agen perubahan yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam solusi atas masalah-masalah kontemporer, sekaligus menjaga tradisi yang menjadi warisan berharga dari nenek moyang mereka.

Penulis: Ahmad Fatwa Hutagalung (Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *