Ulama Umum dan Ulama Spesialis: Mari Simak Pengklasifikasiannya

Penulis: Fakhry Emil Habib, LC., Dipl. MH. | Editor: Habibur Rahman

KHAZANAH253 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID,  Khazanah – Kita tahu, bahwa ada 3 ilmu yang merupakan penopang kewajiban dasar manusia beribadah, yaitu fikih, tauhid dan tasawuf. Seluruh muslim (awam al-muslimin) wajib mempelajari dasar-dasar tiga ilmu ini. Namun bagi seorang “Thalibul Ilmi” yang diproyeksikan untuk menjadi ulama, ia harus mempelajari detail-detail tiga ilmu ini, tidak cukup dasar-dasarnya.

Dari mana sumber tiga ilmu ini? Tentu saja dari al-Quran dan sunnah, dua pusaka peninggalan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Apakah ilmu bisa langsung diekstrak dari sumbernya? Tentu saja tidak. Mengeluarkan inti sari ilmu dari perkataan Allah yang maha tinggi dan perkataan Rasul yang mulia tentu harus dilakukan oleh ahli berilmu tinggi pula.

Apa saja ilmu yang harus dikuasai? Ilmu yang digunakan untuk memahami nash-nash agama inilah yang dikenal dengan nama Ilmu Alat.

Perlu diingat, bahwa menguasai dasar-dasar Ilmu Alat tidak serta merta membuat pelakunya menjadi mujtahid. Hal ini baru membuat seorang pelajar memahami sedikit banyak kaitan antara dalil mentah dengan hukum yang telah matang.

Saat ia tahu kaitan antara hukum amal dengan dalil amal, maka ia sudah layak disebut sebagai ahli fikih (Faqih) level dasar, sebuah level di atas muqallid biasa.

Muqallid mengikuti imam hanya dengan modal kepercayaan bahwa imam tersebut memang orang hebat. Namun ahli fiqih level dasar mengikuti imam karena ia benar-benar tahu bahwa imam tersebut memang orang hebat, sebab ia memahami argumentasi sang imam.

Level ini, bagi sebagian kalangan disebut dengan Muttabi’. Kalau kami pribadi lebih suka menyebut pelajar yang sampai pada level ini dengan sebutan “Ulama Umum”, sebanding dengan “dokter umum”.

Perlu diperhatikan, mengambil spesialisasi seperti usul fikih, tafsir, hadis, filsafat, Bahasa Arab dan lain sebagainya sebelum seorang pelajar mencapai derajat ulama umum adalah pangkal dari munculnya sarjana-sarjana Islam yang tidak alim karena ia memandang agama secara parsial, hanya berdasarkan bidang yang ia dalami saja. Makanya wajar muncul fatwa-fatwa aneh, sebab proses pengkajiannya tidak lengkap.

Ini landasannya, dalam jenjang pendidikan Islam, sebenarnya pelajar harus menamatkan pendidikan agama terlebih dahulu di Pondok Pesantren yang mengajarkan Ilmu Ghayah dan Ilmu Alat secara lengkap, baru kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia nanti bukan hanya menjadi sarjana Islam, namun juga alim yang bijaksana dan mampu memandang setiap permasalahan secara komprehensif.

Lalu apa saja Ilmu Alat yang umumnya dipelajari di Pondok Pesantren Indonesia? Berikut kami jabarkan secara umum, sebagai berikut; Nahu, Sharaf, Balaghah (Ma’ani, Bayan, Badi’), Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Usul Fikih dan Mantiq. Kemudian ditambah dengan Ilmu Ghayah, maka jumlahnya menjadi 12. Tentu saja dengan ilmu turunan lain seperti tajwid dan sirah)

Ketika ia telah menguasai ilmu-ilmu ini, barulah ia boleh mengambil spesialisasi yang ia sukai. Ia akan mendalami ilmu-ilmu yang tidak dipelajari dalam spesialisasi yang lain. Seperti yang mengambil usul fikih, ia akan belajar maqashid. Yang memilih hadis akan belajar ilmu rijal dan ilal, dst.

Apapun yang ia dalami, ia akan selamat karena ia telah memiliki kecakapan standar seorang alim. Namun penting untuk diperhatikan, seorang alim spesialis bukanlah mujtahid. Ia akan lebih dikenal dengan bidang yang ia tekuni, sehingga muncul istilah , faqih, mufassir, muhaddis, adib, dll.

Lalu mujtahid itu siapa? Mujtahid tentu saja puncak dari penguasaan terhadap ilmu-ilmu tersebut. Ilmunya lebih dari ulama spesialis, namun istimewanya, mereka menjadi ‘spesialis’ pada semua cabang ilmu. Bukan hanya pada satu bidang saja. Jadi bisa dipahami, mengapa para Imam Mazhab itu benar-benar dihormati, walaupun oleh umat yang berbeda mazhab dengan mereka? Karena memang keilmuan mereka sudah paripurna. Jika mereka bukan ahli, mana mungkin para pakar tafsir dan hadis seperti Imam Ar-Razi, Imam Ibnu Katsir, Imam Zarkasyi, Imam Ibnu Hajar al-Asqallani dan lain sebagainya mau mengikuti mereka?

Pada akhirnya, lagi-lagi kita harus kembali bertanya pada diri kita. “Siapakah saya? Apakah saya awam? Apakah saya muqallid? Apakah saya faqih? Apakah saya mujtahid muqayyad?”. Pantaskah saya langsung-langsung ber-hujjah dengan al-Quran dan Sunnah tanpa menguasai ilmu-ilmu alatnya? Pantaskah saya yang awam mengaku-ngaku alim? Tentu kita lebih tahu kapasitas diri kita. Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.

Penulis: Fakhry Emil Habib, LC., Dipl. MH. Merupakan Pengasuh Program Timur Tengah SMA IT ICBS Payakumbuh dan juga Pembina Yayasan Alhusam Littafaqquh Fiddin, serta Pegiat Kajian Falak di PCI Muhammadiyah Mesir. Di samping itu juga aktif di beberapa organisasi, antara lain: MUI Kab. Lima Puluh Kota, Yayasan Alhusam Littafaqquh Fiddin, IPSI Kota Payakumbuh, dll. Ia menyelesaikan studi S1 Universitas al-Azhar, Syariah Islamiah 2015, dan Post Graduate Diploma (Tamhidi) Universitas al-Azhar Usul Fikih 2017, S2 Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi 2022 dengan Jurusan Hukum Islam, Fakultas Syariah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *