Tatabbu’ Rukhas: Mencari-cari Fatwa Ringan Untuk Difatwakan atau Diamalkan

Penulis: Fakhry Emil Habib, LC., Dipl. MH. | Editor: Habibur Rahman

KHAZANAH183 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID,  Khazanah – Kebanyakan da’i kalau ditanya tentang tatabbu’ rukhash, rata-rata akan mencela. Namun nyatanya justru merekalah yang mengajarkan awam melakukan tatabbu’ rukhash. Contohnya, praktik ini banyak ditemukan dalam kasus dalam membimbing ibadah haji/umrah serta pembina rumah tahfizh.

Seperti kasus shalat di atas pesawat diperbolehkan tanpa melakukan wudhu’ dan dianggap telah menggugurkan kewajiban shalat. Padahal wudhu’ bisa dilakukan dan sah walaupun hanya dengan 100ml air.

Jika diterapkan tayammum dengan mengusap permukaan kursi pesawat, sudah bisa dipastikan debunya untuk ber-tayamum tidak ada. Kemudian, shalat dilakukan tanpa berdiri, tanpa rukuk, tanpa sujud dan tanpa menghadap kiblat, yang mana itu adalah rukun dan syarat shalat. Perlu dipertanyaan lagi tentang adakah dalil dari Nabi yang mewajibkan shalat di atas kendaraan?

Lain halnya dengan hukum shalat di atas kapal laut yang memungkinkan rukun dan syaratnya terpenuhi, dan tidak bisa disamakan dengan shalat di atas pesawat seperti kasus yang dibahas tadi. Memang, para ulama sepakat bahwa shalat wajib dilakukan sesuai kemampuan. Pertanyaanya, apakah shalat seperti kasus di atas pesawat tadi sudah menggugurkan kewajiban shalat? sehingga tidak perlu diulang kembali saat memungkinkan.

Muamalah wanita haid yang menyentuh mushaf al-Quran atau masuk masjid perlu dikaji lagi. Apakah perempuan haid itu berbeda atau sama dengan junub, atau justru lebih berat dari kondisi junub? Apakah terlarangnya wanita haid berdiam diri di masjid dan membaca al-Quran disebabkan akan takut kotoran darah haid, atau kotoran ma’nawi yang disebut hadas besar? karena disisi lain lelaki junub yang tidak ada kotoran darah juga dilarang berdiam diri di masjid.

Alasan paling klise sering ditemukan dalam masalah seperti ini adalah, ” Seharusnya kita luwes dalam mempraktikkan hukum Fikih, karena pemahamn Fikih itu lapang dan banyak pendapat ulama yang berbeda dalam satu hukum, dan Mazhab dalam Islam banyak, tidak hanya Syafi’i!” Seharusnya alasan tidak mudah diucapkan begitu saja jika  memahami fiqh muqaran  dengan baik dan benar.

Persoalannya, apakah metode fatwa longgar seperti ini masuk ke dalam tatabbu’ rukhash? Dan apakah yang berfatwa lintas mazhab itu sudah mendapatkan izin berfatwa dari setiap mazhab? Banyak ditemui di lapangan yang suka mengeluarkan fatwa longgar tersebut tidak mengetahui furu’ secara detail dan tidak bisa menunjukkan sumber dan rujukan primer fatwa dari masing-masing mazhab.

Persoalan lain, sejauh mana kita boleh membawa fatwa luar mazhab mainstream di tengah masyarakat? Bolehkah berfatwa bahwa anjing halal dimakan, berdasarkan rujukan mazhab Maliki? Atau bahwa nabidz halal, berdasarkan rujukan mazhab Hanafi? Atau bahwa menikahi janda tak perlu ada wali? Sampai dimana batasan fatwa lintas mazhab yang boleh dilakukan atau tercela untuk dilakukan?

Berdasarkan uraian masalah di atas, penulis berpendapat tidak boleh berfatwa dengan selain mu’tamad mazhab mainstream, yang dalam konteks kekinian adalah Mazhab Syafi’i. Namun pendapat ini sering dianggap kaku dalam berfatwa, tidak memahami fiqh muqaran, tak menghargai khilafiyah dan seterusnya bahkan dituduh Wahabi oleh yang tidak sependapat dengan penulis. Tapi, kebanyakan dari mereka justru tidak punya latar ilmu pendidikan Fikih yang muktabar, tidak mengetahui ‘umdatul fatwa empat mazhab, atau bahkan tidak menguasai ilmu alat yaitu bahasa Arab dengan baik dan benar.

Perlu dicatat, memberikan fatwa bukanlah seperti orang berdagang yang mana mengeluarkan fatwa sesuai selera orang awam. Karena, bagaimanapun setiap fatwa yang disampaikan akan dipertanggungjawabkan baik seacara dunia maupun akhirat. Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.

Penulis: Fakhry Emil Habib, LC., Dipl. MH. Merupakan Pengasuh Program Timur Tengah SMA IT ICBS Payakumbuh dan juga Pembina Yayasan Alhusam Littafaqquh Fiddin, serta Pegiat Kajian Falak di PCI Muhammadiyah Mesir. Di samping itu juga aktif di beberapa organisasi, antara lain: MUI Kab. Lima Puluh Kota, Yayasan Alhusam Littafaqquh Fiddin, IPSI Kota Payakumbuh, dll. Ia menyelesaikan studi S1 Universitas al-Azhar, Syariah Islamiah 2015, dan Post Graduate Diploma (Tamhidi) Universitas al-Azhar Usul Fikih 2017, S2 Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi 2022 dengan Jurusan Hukum Islam, Fakultas Syariah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *