MINANGGLOBAL.ID, Khazanah– Perbincangan pria mapan versus wanita mandiri belakangan ini menjadi topik yang ramai diperbincangkan di media sosial. Diskusi hangat ini dipicu oleh pernyataan salah seorang artis ternama Indonesia yang mengungkapkan fakta bahwa di era modern ini banyak wanita independent, tapi sedikit pria mapan. Pernyataan tersebut kemudian viral dan menuai pro-kontra di tengah-tengah masyarakat.
Beberapa menganggap pernyataan ini memang mencerminkan realitas sosial saat ini, sehingga banyak wanita modern yang menunda menikah karena belum menemukan pasangan yang setara. Beberapa lainnya menganggap pernyataan ini menyudutkan kaum pria. Ada pula yang berkomentar bahwa kemapanan pria dan kemandirian wanita bukanlah sesuatu yang sepadan untuk dibandingkan, karena wanita sudah diangggap mandiri ketika mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Sedangkan bagi pria hal itu belum cukup, pria baru dianggap mapan ketika sudah mampu memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya, mereka menganggap ini sangat tidak adil bagi pria.
Lantas, Bagaimana Islam Memandang Isu Ini? Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang sangat komprehensif dalam mengatur setiap sisi kehidupan umatnya. Seluruh lini kehidupan ada tuntunannya dalam ajaran Islam, termasuk mengenai peran pria dan wanita dalam keluarga yang telah diatur dalam al-Qur’an dan hadis, bahkan ada contoh teladannya yaitu dari Rasulullah saw dan istri beliau, Khadijah binti Khuwailid.
Diantara ayat Al-Qur’an yang membahas tentang peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga adalah QS. An-Nisa’ ayat 34,
اَلرِّجَا لُ قَوَّا مُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَاۤ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَا لِهِمْ ۗ فَا لصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗ
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).”
Kata qawwam dalam ayat ini mengandung makna kepemimpinan, perlindungan, dan tanggung jawab. Quraish Shihab menjelaskan bahwa qawwam bukan berarti dominasi laki-laki atas perempuan, tapi lebih kepada tanggung jawab laki-laki sebagai pemimpin dan pelindung keluarga. Sebab laki-laki telah diberi oleh Allah kelebihan dalam hal tertentu misalnya kekuatan fisik dan kemampuan dalam berlogika, kelebihan ini bukan untuk merendakhan wanita, melainkan untuk membantu laki-laki melaksanakan kewajiban memberi nafkah yang ditimpakan kepadanya.
Pembahasan mengenai kewajiban pria dan wanita dalam keluarga ini juga telah dijelaskan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829).
Hadis ini menegaskan bahwa seorang laki-laki memiliki tanggung jawab besar sebagai pemimpin bagi keluarganya, tak hanya dalam hal finansial tapi juga mencakup masalah moral dan spiritual. Karena sebenarnya kriteria “mapan” dalam Islam tidak hanya ditentukan dari banyaknya harta, tapi juga dari kemampuan seorang laki-laki untuk menjadi pelindung dan pembimbing bagi keluarganya menuju kebaikan yang dapat menghantarkan dirinya dan keluarganya menuju surga. Hadis ini juga mengingatkan bahwa tugas utama seorang wanita adalah sebagai ummu wa rabbatu bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Semandiri-mandirinya seorang wanita atau sebagus apapun pekerjaannya, tetaplah tugas utama dan peran termulia bagi seorang wanita adalah ketika ia mampu menjadi istri yang taat kepada suami dan ibu yang baik bagi anak-anaknya, mampu mendidik anak-anaknya menjadi generasi penerus yang saleh dan salehah.
Selain ayat Al-Qur’an dan Hadis di atas, kita juga dapat mengambil teladan dari kisah Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah saw yang merupakan seorang pengusaha sukses di masanya. Beliau mandiri secara ekonomi bahkan sejak sebelum menikah dengan Rasulullah. Namun, kemandirian tersebut tidak mengurangi perannya sebagai istri Rasulullah, justru malah menjadi pendukung bagi dakwah Rasulullah. Beliau memberikan seluruh hartanya untuk kepentingan dakwah Rasulullah demi menegakkan agama Islam. Kisah ini menunjukkan bahwa kemandirian wanita bukanlah ancaman bagi pria, tapi justru dapat mendatangkan kebaikan yang menakjubkan jika keduanya saling berkolaborasi.
Kisah ini juga memberikan gambaran yang ideal bahwa kemapanan pria dan kemandirian wanita bukanlah sesuatu yang harus dibanding-bandingkan atau dijadikan persaingan, tapi keduanya dapat dikolaborasikan demi mencapai tujuan bersama dalam pernikahan.
Bukan persaingan tapi kolaborasi. Jika diperhatikan kembali dan dikaitkan dengan ayat al-Qur’an dan hadis serta kisah Khadijah ra. yang telah dipaparkan sebelumnya, sebenarnya isu ini tidak hanya menjadi pengingat bagi kaum pria, tapi juga pengingat bagi kaum wanita. Isu ini mengingatkan para pria untuk lebih bersungguh-sungguh lagi dalam mempersiapkan diri menjadi pria yang mapan, baik secara finansial, maupun secara moral dan spiritual, karena tanggung jawab seorang pria adalah menjadi qawwam, yaitu pelindung, pembimbing, dan penanggung jawab bagi keluarganya. Dan para pria juga tidak perlu membanding-bandingkan tanggung jawabnya ini dengan wanita, karena tanggung jawab ini merupakan tugas khusus yang diberikan Allah kepada kaum pria, sepaket dengan kelebihan yang Allah anugrahkan atas mereka untuk mengemban tanggung jawab tersebut.
Kaum wanita pun juga diberi tanggung jawab khusus oleh Allah, yaitu sebagai ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Sehingga dengan adanya isu ini, kaum wanita seolah diingatkan kembali bahwa semandiri apapun ia, sebagus apapun karirnya, peran yang paling mulia baginya tetaplah sebagai ummu wa rabbatul bait. Bukan berarti seorang wanita tidak boleh bekerja, ia tetap punya kesempatan untuk bekerja selama pekerjaan itu tidak membuatnya abai dari tanggung jawab utamanya sebagai ummu wa rabbatul bait. Isu ini juga menjadi pengingat bagi kaum wanita, bahwa kemandiriannya dalam hal finansial seharusnya diarahkan untuk mendukung keluarga, sebagaimana yang dicontohkan oleh Khadijah RA. bukan malah menjadi alasan untuk merendahkan kaum pria.
Jadi sudah selayaknya para pria dan wanita untuk menjalani tanggung jawabnya masing-masing untuk kemudian saling berkolaborasi demi tercapainya tujuan bersama dalam rumah tangga. Bukan malah saling membandingkan pencapaian atau tanggungan jawab pribadi yang dapat memicu konflik dan akhirnya mendatangkan keengganan untuk menikah. Karena sejatinya semandiri apapun wanita, ia tetap membutuhkan pria sebagai qawwam dan semapan apapun pria, ia juga tetap membutuhkan wanita sebagai tempat pulang segala gelisahnya dan mendukung segala usahanya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 187 yang mengisyaratkan bahwa pasangan suami-istri itu ibarat pakaian bagi satu sama lain, keduanya hendaklah saling melengkapi dan melindungi. Semoga diskusi ini menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa mapan dan mandiri bukanlah tentang persaingan, tapi tentang kolaborasi untuk menciptakan keluarga yang kokoh dan penuh keberkahan. (NSE)