Kepemimpinan Perempuan Perspektif Al-Qur’an dan Hadist

Penulis: M. Arya Amarta Pratama (Mahasiswa Program Studi Ilmu al-Quran dan Tafsir, UIN SMDD Bukittinggi)

KHAZANAH81 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, Khazanah – Berbicara perempuan zaman sekarang dalam hal kepemimpinan menjadi sebuah isu hangat untuk diperbincangkan. Dapat dilihat saat ini banyak pemimpin baik tingkat daerah, nagari, desa, sampai negara bisa dan ada dijabat perempuan. Dapat dikatakan laki maupun perempuan zaman sekarang sama bisa menjabat memagang kendali sebagai pemimpin.

Lalu bagaimana perempuan menjadi pemimpin menurut pandangan al-Qur’an dan hadist. Dalam pandangan tradisional perempuan domestik seperti menjadi ibu rumah tangga, namun zaman modern perempuan juga mulai merambah menjadi pemimpin. Menurut pandangan Al-Qur’an, QS. An-Nisa ayat 59,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad SAW) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah SWT (Al-Qur’an) dam Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ayat di atas dapat pahami bahwa ketaatan kepada pemimpin tidak memandang dan menyebutkan gender. Isu kepemimpinan sendiri lebih banyak diperdebatkan melalui interpretasi hadist dan analisis konteks sosial. Hal ini lah yang menyebabkan terjadinya perdebatan di kalangan ulama hadist maupun tafsir. Ada ulama memperbolehkan dengan melihat dari kemampuan, akhlak, dan maslahat yang dihasilkan, baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi ada juga ulama yang tidak memperbolehkan kepemimpinan perempuan dengan merujuk hadist ini “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (HR. Bukhari).

Jelas dalam hadist d atas bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dalam urusan kenegaraan atau dalam posisi yang memiliki kekuasaan besar. Para ulama melihat menafsirkan hadist ini bersifat umum dan melihat  bahwa kepemimpinan yang dimaksud adalah untuk laki-laki, berdasarkan adat dan konteks pada masa nabi. Bagaimanapun perselisihan tentang boleh tidaknya peremuan menjadi pemimpin akan selalu ada, tapi realitanya perempuan zaman sekarang sudah banyak menjadi pemimpin mulai dari level keci seperti desa, nagari sampai level negara. Perbedaan pendapat ulama tentang hal ini dianggap sebagai khazanah Islam, setiap orang boleh sepakat dengan pendapat ulama yang mana. Namun yang jelas di dalam bingkai NKRI, tidak ada larangan secara konstitusional bagi seorang perempuan menjadi seorang pemimpin.(MAAP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *