Da’i Jangan Rabun Membaca, Lumpuh Menulis

KHAZANAH241 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, KHAZANAH – Seorang da’i jangan menjadi orang yang rabun membaca membaca, lumpuh menulis. Rabun membaca adalah istilah untuk orang yang rendah minat bacanya dan minim wawasan dalam keterampilan membaca. Sedangkan lumpuh menulis ungkapan untuk ketidakmampuan menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan.

Direktur Pusat Studi Dakwah Transformatif Indonesia (Indonesia Transformative Da’wah Centre) Buya H. Irwandi Nashir mengatakan para da’i sebagai garda terdepan dalam mengedukasi umat wajib terus menambah pengetahuan melalui keterampilan membaca yang mendalam dan bahan bacaan berkualitas tinggi. Selain itu, menurut dosen IAIN Bukittinggi ini, keterampilan dakwah bil qolam dengan menulis artikel dan buku juga mesti dikuasai dan dibiasakan oleh para da’i.

Sementara itu, trainer nasional dari Head Institute Indonesia, Buya Dr. Yunhendri Danhas, mengatakan gemar membaca dan piawai menulis bagi da’i mesti menjadi sebuah gerakan massal yang nantinya membudaya. “Ditengah banjir informasi dan sumber bacaan di era digital ini, para da’i wajib pandai mengkritisi membandingkan, menyimpulkan dan menyebarkan gagasannya melalui tulisan”, ujar penggiat dakwah yang memperoleh sertifikat trainer di New Jersey, Amerika Serikat itu.

“Tanpa cerdas membaca dan terampil menulis, maka materi dakwah yang disampaikan kepada umat kadang meninggalkan membosankan karena tidak ditemukan sesuatu yang baru dan menggugah”, lanjut Buya Irwandi Nashir.

Bagi Ustadz Efendi Mukhtar, menulis buku bagi seorang da’i adalah dakwah yang bertahan lama. Menurut da’i asal Kota Payakumbuh ini yang baru saja meluncurkan bukunya berjudul “Ngaji Tauhid”, dengan menuliskan pesan dakwah melalui buku dan disebarluaskan, maka para kompetensi da’i akan teruji. “Buku yang dibaca itu pasti akan ada respon baik dalam bentuk apresiasi maupun kritikan. Nah, disinilah diuji keilmuan seorang da’i itu,” ungkap pendidik di Yayasan Pendidikan Islam Raudhatul Jannah itu.

Sementara itu, melalui pusat studi yang didirikannya, Irwandi Nashir dan Yunhendri Danhas, turun ke lapangan untuk memberikan motivasi dan edukasi terutama kepada para da’i dan guru agar menjadikan literasi dalam membaca dan menulis sebuah budaya yang terus dibiasakan, bukan sesuatu yang masih dijadikan momok. (MF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *