Satu Muharram adalah Momentum Kebangkitan

MINANGGLOBAL.ID, KHAZANAH – Menjadi pertanyaan, mengapa penanggalan hijriah itu dihitung saat hijrah Nabi ke Madinah? Bukan saat lahirnya Rasulullah atau wafatnya Rasulullah. Atau apa salahnya mengacu pada kalender masehi saja

Pertanyaan ini sebenarnya sudah terjadi tempo dulu. Saat Khalifah Umar mengumpulkan sahabat dalam musyawarah penentuan tahun Hijriah. Ada yang mengusulkan tahun Hijriah terhitung saat Rasul lahir, ada pula yang usul saat wafat Rasul. Namun yang dipilih adalah usulan Ali bin Abi Thalib: 1 Hijriah dihitung saat hijrahnya Nabi dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah.

Banyak pelajaran yang didapatkan dari keputusan ini. Pertama, tidak dipilihnya kelahiran Nabi menjadi tahun Hijriah sebab banyak pertimbangan, diantaranya; adanya perbedaan pendapat terkait kelahiran Nabi. Begitu juga saat ada yang memberikan opsi, tahun wafat Nabi sebagai hitungan dimulai kalender Hijriah. Karena takut mencontoh kaum Majusi, yang menjadikan wafat Kisra-nya sebagai tahun penanggalan.

Perlu menjadi catatan bahwa Hijriah itu bukan sebatas penanggalan saja melainkan menjadi identitas Islam. Para sahabat tidak mau menjadikan kelahiran Nabi karena takut terbuai dengan romansa keindahan. Begitu juga saat tidak memilih tahun wafat Nabi karena khawatir dengan kesedihan yang berlarut-larut.

Islam itu adalah agama Allah. Sehingga dikhawatirkan bila dipakai kelahiran atau wafat Nabi, ditakutkan ada pengkultusan berlebihan; penyembahan kepada Rasulullah.  Rasulullah sendiri pun sudah mewanti-wanti ini, saat sebelum wafatnya Rasulullah berwasiat agar tidak menjadikan kuburannya sebagai tempat khusus, tempat beribadah.

Dijadikannya peristiwa hijrah sebagai awal tahun hijriah merupakan bentuk  sebuah identitas dan kemerdekaan Islam. Setelah hampir 13 tahun di Mekkah tidak bebas beribadah, proses hijrah ke Madinah menjadi awal mula kebebasan dan kemerdekaan itu. Mulai dari segi beribadah hingga kebudayaan.

Peristiwa ini menjadi kenangan khusus para sahabat dan Ummat Islam. Di samping itu, peristiwa hijrah mengajari umat Muslim terhadap sebuah proses.   Mengenang kembali pengorbanan saat berhijrah. Meninggalkan kampung halaman tercinta, meninggalkan sanak saudara hingga menggadaikan harta benda.

Pengorbanan itulah yang menjadi pondasi, sehingga terbukalah jalan kesuksesan dakwah. Bukankah melalui Hijrah terbentuknya tatanan masyarakat yang madani. Melalui hijrah terbangunnya masjid pertama umat Islam, melalui hijrah bersatunya seluruh kabilah di bawah panji Islam, melalui hijrah terbentang dan menyebarlah cahaya ilahiyyah itu ke seluruh sudut-sudut bumi. Hingga ke Nusantara kita hari ini.

Hijrah itu menjadi momentum kebangkitan sekaligus menjadi awal eksistensi agama Islam di tanah Arab. Tidak ada lagi yang beribadah sembunyi-sembunyi semua keluar dan menunjukkan identitas keislamannya dengan bangga.

Perhatikanlah, cukup dengan waktu satu tahun, saat energi kemerdekaan itu bersatu, pasukan Islam yang berjumlah ratusan mampu memporak-porandakan kafir Quraisy yang berjumlah ribuan, yang selama 13 tahun menjajah Islam, peristiwa itu terjadi pada perang Badar (2 H).

Hijrah itu, tepatnya momentum. Begitu hendaknya, saat bertemu 1 Muharram, menjadi momentum kebangkitan bagi tiap kita Ummat Islam. Yang telah berhijrah, jangan jadikan hijrah itu sebagai hasil, melainkan menjadi momentum bertakwa kepada Allah.

Dari peristiwa hijrah kita belajar yanag namanya hijrah itu terus menerus. Hidup itu ibarat sebuah buku, hari-hari adalah lembarannya. Aktivitas adalah tintanya. Saat engkau berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya, itu sudah berhijrah. Namun yang menjadi pertanyaan lembar hidup kita digoreskan tinta hitam atau putih?

Selamat Memperingati 1 Muharram 1443. Jadikan ini momentum kebangkitan Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *