MINANGGLOBAL.ID, Khazanah – Puasa yang bermanfaat adalah puasa yang dapat membina jiwa, memberikan motivasi untuk menjalankan kebaikan, dan menghasilkan ketakwaan. Hal ini termaktuk dalam Q.S Al-Baqarah ayat 183 “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Wajib hukumnya bagi setiap orang yang berpuasa untuk menahan diri dari setiap perkataan dan perbuatan yang dapat merusak puasanya. Sehingga ia tidak sekedar mendapatkan lapar dan haus saja dari puasanya tersebut, namun ia juga mendapatkan pahala yang berlimpah serta ampunan dari Allah Ta’ala.
Dalam sebuah hadis disebutkan: “Puasa itu sejatinya adalah tameng. Jika salah seorang dari kalian berpuasa, hendaklah dia tidak berkata kotor dan tidak berperilaku buruk. Jika seseorang memeranginya atau menghinanya, hendaklah dia berkata; ‘Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa.’” (HR. Bukhari no. 1894 dan Muslim no. 1151)
Makna ‘tameng’ pada hadis tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh para ulama adalah “pelindung dan benteng yang akan melindungi seseorang dari kemaksiatan dan perbuatan dosa kepada Allah Ta’ala di dunia serta tameng dari azab api neraka di akhirat kelak.”
Maksud dari berkata kotor dan berperilaku buruk dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim adalah mencela, marah, membicarakan aib orang lain, ghibah, fitnah, dan membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Puasa termasuk salah satu amal ibadah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Karena dalam menjalani hakikat puasa tersebut, seorang hamba akan menahan dirinya dari makan dan minum, dan juga akan menjauhkan dirinya dari hal-hal yang berbau syahwat dan kemaksiatan. Kesemuanya itu ia lakukan sebagai perwujudan takwa kepada Allah Ta’ala di dalam hatinya.
Di dalam hadis qudsi ini, Allah Ta’ala mengaitkan antara pahala puasa yang tak terhingga dan akan dibalas langsung oleh Allah Ta’ala dengan kriteria puasa yang dapat mewujudkannya. Dalam berpuasa, tidak cukup seorang hamba hanya menahan rasa lapar dan haus saja, ia juga dituntut untuk menahan diri dari nafsu syahwat dan keinginannya untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahaya maksiat yang dilakukan seseorang saat berpuasa, yaitu : “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkan keburukan atas asas kedustaan, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga.” (HR. Bukhori no.1903, Abu Dawud no. 2362, Tirmidzi no. 707 dan Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3246)
Di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa puasa tidak hanya menahan diri dari haus dan lapar saja, tapi juga harus melepaskan diri dari berbagai macam kemaksiatan, seperti berdusta, tidak berbuat benar. Dan lebih dari itu diharapkan untuk membentuk seorang hamba menjadi insan yang bertaqwa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mewanti-wanti, di dalam sebuah hadis yang berarti “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga. Dan betapa banyak orang yang melaksanakan salat malam, namun dia tidak mendapatkan dari bangunnya tersebut, kecuali rasa capek karena begadang.” (HR. Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249, Ibnu Majah no. 1690, dan Ahmad no. 9683)
Berdasarkan hadis-hadis ini, sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang yang berpuasa, namun melakukan kemaksiatan, maka puasanya dihukumi batal. Meskipun pendapat yang lebih benar adalah tidak batalnya puasa orang tersebut. Namun yang perlu kita garis bawahi, para ulama tidak meragukan bahwa kemaksiatan akan mengurangi pahala puasa.
Syekh Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah membagi puasa menjadi dua jenis, yaitu pertama, Puasa Hakiki atau puasanya hati, yaitu puasa yang diiringi dengan menahan diri untuk tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.
Kedua, Puasa Zahiri atau puasanya anggota badan, yaitu menahan diri dari pembatal-pembatal puasa dengan niat beribadah kepada Allah Ta’ala dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.
Selanjutnya beliau mengatakan, ”Berdasarkan hal tersebut, siapa yang berpuasa secara zahir dengan anggota badannya, akan tetapi tidak berpuasa dengan hatinya (masih bermaksiat dan melakukan dosa), maka puasanya merupakan puasa yang tidak sempurna sama sekali. Tidak kita katakan batal dan tidak diterima, namun kita katakan bahwasanya puasanya tidak sempurna dan kurang.
Berpuasa tidak akan sempurna jika seseorang tidak menahan diri dari bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, puasa tersebut sudah menggugurkan kewajiban puasa dari dirinya. Karena perkara ibadah di kehidupan dunia ini tolak ukurnya adalah sesuatu yang nampak.” (Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh, 1: 116)
kita harus berusaha menjaga ibadah puasa kita agar terhindar dari berkata kotor, berkata kasar, marah, ghibah, mencela dan sebagainya agar mendapatkan pahala puasa yang sempurna dan tidak sia-sia dalam melaksanakannya. Dan yang terpenting semoga dengan berpuasa dapat membentengi diri kita dari perbuatan maksiat dan dosa sehingga kita bisa menjadi seorang hamba yang bertaqwa dan memperoleh ridho dari Allah SWT. (FAA)