MINANGGLOBAL.ID, Khazanah – Siapa yang tidak mengenal atau sekedar pernah mendengar nama Ibnu Taymiyyah? Dia adalah salah satu pemikir Muslim yang memiliki pengaruh cukup besar di lingkup dunia Islam dan kajian Keislaman. Ibnu Taymiyyah dikenal karena mampu menguasai hampir seluruh cabang keilmuan dan kajian Islam. Hal tersebut terbukti dari banyaknya karya tulis yang dihasilkannya dan karyanya meliputi berbagai disiplin keilmuan seperti Akidah, Fikih, Hadis, Tafsir Alquran, Tasawuf, Filsafat, hingga Politik/Siyasah. Dengan kompetensi keilmuan yang variatif, Ibnu Taymiyyah, melalui karya-karyanya, dinilai banyak berkontribusi dalam membangun kembali peradaban Islam di atas pokok-pokok dasar Islam.
Nama lahirnya adalah Taqiyuddin Ahmad ibn ‘Abd al-Salam ibn ‘Abd Allah ibn Taymiyyah al-Harânî atau lebih dikenal dengan nama Ibn Taymiyyah saja. Beliau lahir pada 22 Januari 1263M atau tepatnya pada 10 Rabiul Awwal 661 H dan wafat pada tahun 1328 atau bertepatang dengan tanggal 20 Dzulhijjah pada tahun 728 H. Ibn Taymiyyah lahir di Baghdad, saat kota tersebut menjadi pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti ‘Abbasiyyah. Ketika menginjak usia enam tahun (tahun 1268), Ibn Taymiyyah dibawa hijrah oleh ayahnya ke Damaskus, Syiria karena serbuan tentara Mongol. Ibn Taymiyyah berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya Syihâb al-Dîn ibn Taymiyyah adalah seorang Syaikh (sebutan untuk Guru), Hakim pada Pengadilan (Qâdhi), sekaligus Khatib. Begitu juga Kakeknya, Majd al-Dîn Abu al-Birkan ‘Abd al-Salam ibn ‘Abd Allah ibn Taymiyyah al-Harânî yang juga merupakan salah satu ahli pada masanya yang sangat menguasai fiqh, Hadis, Tafsir Alquran, Ushul Fiqh, dan juga menghafal seluruh al-Qur’an (hafîdz).
Ibn Taimiyah menjadi mufti sejak sebelum berumur 21 tahun. Ia mengabdikan ilmunya demi kepentingan Islam dan umat. Sewaktu ayahnya wafat pada tahun 682 H/1284 M., ia menggantikan jabatan ayahnya sebagai Direktur Madrasah Dăr al-Hadis as-Syukkariyah. Selain sebagai Direktur Madrasah, ia juga menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru besar hadis dan fiqh Hambali di beberapa Madrasah terkenal yang ada di Damaskus. Dalam hal keagamaan, pada masa Ibn Taimiyah terdapat empat mazhab fiqh besar yang dijadikan rujukan umat Islam. Yaitu mazhab Maliki (712-795 M.), Hanafi (699- 767 M), Syafi’i (767-820, dan mazhab Hambali (780-855 M.). Dalam hal teologi, paham al-Asy’ari dan al-Maturidi sangat mendominasi.
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa mengatur urusan umat termasuk kewajiban kewajiban agama yang sangat penting. Tetapi tidak berarti agama tidak bisa tegak tanpa adanya negara. Kepentingan manusia, menurutnya, tidak bisa terpenuhi kecuali dengan bergabung menjadi suatu masyarakat, mengumpulkan kepentingan satu sama lain. Ketika berkumpul maka harus ada pemimpin. Argumen rasional itu juga diperkuat oleh beberapa landasan Sunnah. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad, yang bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka salah seorang di antara mereka selayaknya menjadi pemimpin. Ibn Taimiyah tidak mendasarkan pada metode ijma’ sebagai alasan kewajiban mendirikan negara. Tetapi ia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia (maslahah) dan melaksanakan syari’at Islam (iqamat al-Syari’ah al-Islămiyyah). Agama yang memiliki seperangkat hukum, perintah dan larangan, Allah memerintahkan manusia supaya melaksanakan amar ma’ruf danmeninggalkan kejahatan, jihad, bersikap adil, ibadah haji, bermasyarakat yang teratur, menolong orang yang teraniaya dan lain-lain. Semua hal tersebut tidak akan dapat dengan baik kecuali dengan adanya kekuasaan dan pemimpin. Ibn Taimiyah menegaskan bahwa mengatur orang banyak adalah kewajiban agama. Dengan demikian, sebetulnya ia menganggap tidak penting sistem khilafah, dan institusi khilafah boleh saja ditiadakan dan digunakan sistem atau institusi pemerintahan lain yang sesuai zamannya.
Ibn Taimiyah memandang bahwa kedudukan kepala Negara sebagai jabatan amanah. Meski ia tidak secara tegas merumuskan mekanisme pengangkatan kepala Negara tersebut. Ibn Taymiyyah menilai bahwa sebenarnya tidak terlalu penting membahas sistem pengangkatan kepala negara, yang lebih urgen adalah orang yang menduduki jabatan itu harus benar-benar orang yang dapat menunaikan amanah dan menciptakan keadilan. Menurut Ibn Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, adanya seorang kepala negara merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak terelakkan. Di sini prinsip gagasannya adalah bahwa kaum muslim dalam hidup sosial perlu ada pemimpin dan diorientasikan pada stabilitas.
Ibn Taimiyah mensyaratkan dua hal bagi kepala negara, yaitu memiliki kualifikasi kekuatan (al-quwwah) dan integritas (al-amanat). Kekuatan dan integritas ini menurut Ibn Taimiyah diperoleh melalui cara mubaya’ah (sumpah setia) yang diberikan oleh ahl al-Syawkah (setara DPR-MPR) yang efektif kepada Raja/ Kepala Negara. Ini berarti bahwa dukungan umat muncul sebagai akibat wajar dari bay’ah tersebut, bukan sebagai prosedur terpisah. Mubaya’ah berfungsi menjadi semacam kontrak sosial yang mengikat antara Kepala Negara dan dan rakyat. Sedangkan yang dimaksud ahl al-Syawkah menurut Ibn Taimiyah adalah semua orang, tanpa memandang profesi dan kedudukan mereka, dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Dalam hal penunjukan atau pengangkatan Taimiyah berpendapat, bahwa seorang kepala negara harus berusaha mencari orang-orang yang secara objektif betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan untuk jabatan-jabatan tersebut, dan jangan karena terpengaruh faktor-faktor subjektif seperti hubungan kekeluargaan dan lain sebagainya.
Ibn Taimiyah memaknai Amanah dalam kancah politik dalam dua pengertian. Pertama, amanah diartikan kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepala negara untuk mengelolanya. Kedua, amanah diartikan kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh Kepala Negara. Dengan persyaratan yang demikian, maka Ibn Taimiyah tidak mensyaratkan calon kepala negara harus dari suku Quraisy. Persyaratan ini (suku Quraisy) bertentangan dengan al-Qur’an yang mengakui persamaan derajat sesama manusia, meskipun ada hadis yang dijadikan landasan terhadap persyaratan suku Quraisy tersebut. Tambahan lagi, Hadis tersebut tidak berbunyi bahwa suku Quraisy sebagai syarat menjadi pemimpin, namun redaksinya lebih bersifat informatif, bahwa memang ada jajaran Kepala Negara di masa tertentu dan jumlah tertentu yang berasal dari anak-cucu keturunan suku Quraisy.
Adapun mengenai tugas utama kepala negara menurutnya adalah menciptakan kemaslahatan bersama dalam wujud menjalankan amanah sebaik-baiknya dan menciptakan keadilan semaksimal mungkin. Dengan demikian, maka tujuan negara adalah 1) sebagai alat untuk menjalankan syari’at Islam di tengah-tengah kehidupan umat manusia sebaik-baiknya; 2) Berfungsi untuk menciptakan kemaslahatan bersama secara hakiki, lahir dan batin seluruh rakyat; dan 3) merupakan lembaga yang harus bertanggung jawab dalam menjalankan Amanah dan menciptakan keadilan.
Dari beberapa pokok-pokok pemikiran politik Ibn Taymiyyah tersebut, dapat terlihat bagaimana moderat-nya pemikiran seorang tokoh yang banyak dicap radikal dan tidak mengindahkan konsep rahmatan lil ‘alamin. Terlepas dari berbagai perbedaan persepsi fiqih dan theologinya dengan banyak tokoh-tokoh Islam lainnya, Ibn Taymiyyah, sebagai Ulama dan Pemikir, tetap mengedepankan aspek objektifitas dan keilmiahan sehingga tetap dapat mengahasilkan pemikiran politik yang moderat dan masih sangat laku untuk dikampanyekan lintas zaman, lintas negara, dan lintas sistem politik. (MR)
Sumber Utama:
Taimiyah, Ibn, As-Siyasah asy-syar’iyyah fi islah al-Ra’i wa ar-Ra’iyyah, Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1409H/1988M.
Taimiyah, Ibn, al-Hisbah fi al-Islam au Wadzifah al-Hukumah al-Islamiyah, Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H/1992M.