MINANGGLOBAL.ID, OPINI – Belakangan ini bergulir sebuah fenomena yang tidak biasa dikalangan masyarakat banyak, sebagaimana yang terjadi beberapa hari ini bahkan sampai sekarang media nasional angkat bicara tentang isu ini. Diadakan sesi diskusi diantara kedua sisi, antara kalangan yang menerima kaum LGBT dengan alibi mereka adalah manusia jadi harus dihargai hak pilihnya untuk memilih jalan hidupnya, dan kalangan yang menolak dengan alasan bahwa LGBT ditolak agama manapun dan tidak diterima dalam norma masyarakat yangberlaku.
Sebagaimana yang terjadi baru-baru ini, “sepasang sejoli” dari kelompok ini yang menjadi viral dan disambut bagaikan orang berpangkat atau pejabat dan seolah-olah masyarakat menerima keberadaan kelompok ini di tengah-tengah mereka.
Siapa yang tidak kenal degan pasangan LGBT bernama Ragil Mahardika (berperan sebagai Istri) dan Fred (berperan sebagai suami), yang mana mereka katanya sudah menikah di Jerman di tahun 2018, setelah negara ini melegalkan pernikahan sesama jenis yang terdaftar di tahun 2001 dan diperkuat lagi dengan undang-undang Bundestag di tahun 2017 yang mengesahkan pernikahan bagi sesama jenis dan hak untuk adopsi anak bagi pasangan menyimpang ini.
Sesi dialog antara penerima dan penolak LGBT lagi-lagi diadakan di salah satu stasiun TV swasta untuk kesekian kalinya, belakangan ini antara Haikal Hassan (Ketua Majelis Keluarga Indonesia) dan Amirsyah Tambunan (Sekjen MUI), dengan Zoya Amirin (Seksolog Klinis) dan Moammar Emka.
Masing-masing mereka mengeluarkan argumennya untuk membenarkan kubu yang mereka dukung, benarlah kata sebagian penulis, ketika dewasa pasti semua ada bantahannya, dalam artian apapun yang diucapkan dan disampaikan ataupun yang diperjuangkan, pasti ada yang membantah, hanya di TK lah yang diajarkan hanya satu jalur dan tidak ada bantahannya.
Lalu sebenarnya kita harus berdiri dimana dan bagaimana dalam memposisikan diri di tengah isu yang terus mengalir ini?
Disatu sisi ada sebuah statement yg terkesan dipaksakan dan seakan masyarakat harus menerima mereka (kaum LGBT) ini di dalam lingkungan bersosial. Alasan yang dikeluarkan pun tidak tanggung-tanggung, kita harus menghargai mereka sebagaimana kita ingin dihargai oleh orang lain, dan harus diterima karena mereka adalah manusia yang sama seperti kita jadi sudah seharusnya dihargai, dan sekian banyak alasan lainnya yang menyentuh hati pendengarnya.
Tapi disisi lain, para pendukung kelompok ini seakan mengesampingkan fakta yang ada bahwa LGBT ini adalah pelaku penyimpangan seksual, ini adalah penyakit masyarakat yang seharusnya dicegah dan diobati, bukan malah dibiarkan atau bahkan dipaksakan kepada orang lain yg “sehat” agar menerima dan mendukung penyakit ini.
Jika kita berbicara tentang pantas atau tidaknya LGBT diberi tempat ataupun diterima keberadaannya, maka akan sulit menolaknya jika berdalil dengan kata-kata “mereka harus diterima dan diberi simpati meskipun orientasi seksualnya berbeda dengan kita, bagaimanapun juga mereka tetaplah manusia sama seperti kita”.
Tapi tidak sulit menolaknya jika kita berlandaskan pada agama, budaya dan norma masyarakat serta penilaian dari segi medis. Tidak ada satupun agama yang membenarkan terjadinya praktik LGBT ini sekalipun di dalam Bibel dan Torah, apalagi Al Qur’an, sama-sama menceritakan azab yang ditimpakan Allah kepada kaum Sodom dam Gomorah dikarenakan penyimpangan seksual ini. Jika kitab suci Al-Qur’an sudah menjelaskan sebuah perbuatan yang ditimpakan azab, maka tidak ada sedikitpun celah disana untuk pembenaran dari perbuatan ini.
Begitu pula norma yang ada di masyarakat, tidak ada satupun yang setuju dengan tindakan menyimpang ini karena mereka semua tahu bahwa manusia itu berpasangan dengan lawan jenis, seperti sebuah kata-kata sarkas yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan Adam dan Hawa (laki-laki dengan perempuan), bukan Adam dan Asep (laki-laki dengan laki-laki).
Begitu juga jika kita berbicara dari segi medis, penyakit HIV AIDS disebabkan salah satunya oleh penyimpangan seksual ini, jika sebuah tindakan menyebabkan penyakit/mudharat maka itu bukanlah sebuah perbuatan yang diperbolehkan. Jadi bagaimana mungkin penyakit harus dirawat, diterima dan ditularkan kepada orang lain ?
Jika seseorang itu mengidap penyakit maka sudah pasti orang di sekitarnya berusaha membantu untuk menyembuhkan penyakit tersebut, dokter akan memberikan resep obat dan pantangan agar bisa sembuh lebih cepat. Begitu juga dengan penyakit LGBT ini, karena kita menghargai mereka sebagai manusialah yang menyebabkan kita harus mengantisipasi agar penyakitnya tidak menular dan menolong mereka supaya sembuh. Tidak ada sikap diskriminatif dalam hal ini hanya karna kita tidak mendukung penyimpangan mereka.
Jika pelaku LGBT saja bisa membuat orang yang “sehat” menjadi penyakitan seperti mereka dengan brain washing yang mereka lakukan melalui kata-katanya. Maka apa yang menghalangi atau yang menjadikan orang yang “sehat” tidak bisa membuat sebuah tempat rehabilitasi dan terapi untuk penyembuhan penyakit mereka ini?
Jangan jadikan alasan bersimpati dan hak mereka sebagai manusia menyebabkan orang yang “sehat” mendukung “penyakit” ini, sehingga lama kelamaan yang “sehat” akan terkena dan digerogoti penyakit juga. (MSI)