Tahun Baru Islam, Haram Merayakannya?

KHAZANAH259 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, KHAZANAH – Salah satu ciri unik Islam adalah banyaknya perbedaan pendapat, baik pemahaman dalam bidang akidah, syariah, maupun muamalah. Sejarah Islam dalam banyak literatur dan teks-teks Islam, menceritakan banyak terjadi perbedaan pemahaman, dan ini sudah biasa sejak zaman Nabi Muhammad saw. Perbedaan itu sangat tampak di saat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah kaum muslimin. Diawali dengan pemberontakan Muawiyah bin Abu Sofyan. Pendek cerita terjadi peperangan (Shiffin) dan Muawiyah terdesak hampir kalah. Pihak Muawiyah mengajukan perdamaian, dan saat itu di pihak Ali ada pengikutnya yang setuju dan tidak setuju.

Sejak peristiwa perang Shiffin tersebut umat Islam terpecah. Julukan para ahli untuk golongan tersebut adalah Syi’ah untuk pendukung Ali bin Abi Thalib, dan bagi yang menolak dan keluar dari golongan Ali bin Abi Thalib dinamakan Khawarij (keluar). Selanjutnya perjalanan panjang sejarah Islam, diwarnai perbedaan teologi, pikiran, dan paham seperti Jabariyah, Qadariyah, Murji’ah, Muktazilah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Sampai disini kita paham, bahwa perbedaan dan pandangan dalam menilik “sesuatu” sangat dimungkinkan terjadi dan berpotensi tercipta. Islam sebagai agama yang moderat, dinamis bisa menerima hal itu, selama perbedaan dalam hal tafsir, pemahaman bukan pada teks, ushul (pokok), dan hal itu sudah biasa dalam tradisi pemikiran Islam. Sebut saja perdebatan ahli tasawwuf dengan ahli filsafat. Pertentangan Ibn Rusyd dan Al-Ghazali sampai melahirkan karya buku yang berisikan argumen-argumen untuk mempertahankan pemikiran masing-masing, buku Al-Ghazali yang terkenal dalam mengemukakan beda pandangannya dengan ahli filsafat adalah Tafahut al-Falasifa dan kemudian dibalas oleh Ibn Rusyd dengan Tahafut at-Tahafut.

Nah, perbedaan-perbedaan itu masih terasa sampai sekarang. Salah satu adalah apakah boleh merayakan tahun baru Islam (Hijriyyah) atau tidak? Apa hukum merayakan tahun baru Islam? Disini ada dua front secara garis besar berhadapan dalam menyikapi boleh atau tidaknya merayakan tahun baru Islam.

Sebagian umat Islam mengatakan merayakan dan mengadakan kegiatan-kegiatan walaupun itu kegiatan positif dan islami tetap tidak boleh. Argumennya tidak pernah dilakukkan Nabi dan tidak ada dalilnya. Ustadz Khalid Basalamah dalam channel YouTube Kajian Ar-Rahman “…Ulama-ulama yang saya pernah belajar dari tangan mereka, mereka mengatakan tidak pernah ada dicontohkan oleh Nabi saw, padahal Nabi adalah Nabi, Utusan Allah swt, begitu pula dengan para sahabat merayakan tahun baru Islam, tidak pernah ada itu…”. Pendapat ini berpegang teguh bahwa selama tidak ada contoh dan dalil dari Nabi, maka tidak dibolehkan, dan tidak usah diadakan. Termasuk juga perayaan yang senada dengan 1 Muharram, seperti Maulid Nabi, dan lain sebagainya.

Lain lagi pandangan Ustadz Abdul Somad pada channel YouTube Pena Safari “…Adapun peringatan menyambut Muharram, itu ngaji, ngaji, kita di pengajian isinya tidak ada yang mungkar, mengingatkan lagi umat tentang bagaimana menyambut 1 Muharram, bahwa kita punya kalender hijriyyah…”. Jelas pendapat ini mengatakan selama itu adalah hal yang baik, tidak menyalahi syari’at, silahkan dilakukan, dan jangan tertipu dengan label, maksudnya namanya peringatan atau perayaan 1 Muharram, tapi isinya majlis ilmu alias pengajian. Jadi tidak ada masalah selama itu tujuannya baik, apalagi membangkitkan semangat beragama dan syiar agama Islam.

Kita bebas mau berdiri dengan pendapat siapa, dan juga bebas untuk memilih pendapat ketiga diluar kedua pendapat tersebut. Pendapat Ustadz Khalid Basalamah adalah benar, jika merujuk kepada teks normatif (dalil), dan pendapat Ustadz Abdul Somad juga adalah benar jika merujuk kepada konteks dan substantif. Tinggal bagaimana kita menyikapi perbedaan itu, yang jelas jangan sampai ada perselisihan yang mengarah kepada perpecahan umat akibat perbedaan-perbedaan seperti hukum merayakan tahun baru Islam. Seperti pepatah Minang katakan, “Jan! dek mancari pan-jaik, ilang kapak” (Jangan! karena mencari jarum jahit, menyebabkan hilangnya kapak). Maknanya jangan sampai karena urusan kecil (masalah perayaan 1 Muharram, Maulid Nabi), menyebabkan hilangnya urusan besar (masalah persatuan dan kesatuan umat).

Mari kita jadikan momen 1 Muharram ini mengingatkan bahwa kita umat Islam punya perhitungan tahun sendiri yaitu kalander Hijriyyah. Apakah kita bangga dengan cara tidak membangga-banggakannya (merayakan), cukup dengan meningkatkan amal ibadah untuk masa yang akan datang, atau apakah kita bangga dengan cara membanggakan baik dalam bentuk peringatan dan perayaan di samping meningkatkan amal ibadah kita. Mari kita bertoleransi dalam perbedaan pandangan, dan mari kita wujudkan pandangan yang bertoleransi dalam kehidupan umat dan sosial. (MF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *