SUMBAR, MINANGGLOBAL.ID– Cita rasa nasi padang tidak hanya menggoda lidah masyarakat nusantara, nasi putih hangat yang disajikan dengan berbagai macam lauk pauk, sayur dan bumbu pedas itu bahkan menggoda masyarakat dunia.
Buktinya, seorang bule Norwegia bernama Audun Kvitland Rostad karena saking sukanya dengan nasi padang sampai membuat lagu berjudul “Nasi Padang“.
Kendati demikian, mungkin masih banyak yang belum tahu tentang sejarah kenapa nasi padang dibungkus dengan daun dan porsinya yang lebih banyak daripada makan di tempat.
Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unand Yudhi Andoni mengatakan, muasal nasi padang memang dibungkus dengan daun pisang.
Dia mengungkapkan, asal mula nasi padang berasal dari salah satu rumah makan paling terkenal di Kota Padang pada masa akhir penjajahan Belanda. Sekitar tahun 1940.
Rumah makan itu berada di Pasar Gadang Kota Padang. Namanya Rumah Bulek atau Rumah Makan Bulek. Di sana, nasi tersebut dibungkus dengan daun pisang.
“Nama nasi padang itu karena asalnya memang dari Kota Padang. Saat itu dijual di Rumah Bulek di Pasar Gadang dan dibungkus pakai daun pisang. Dan waktu itu, Pasar Gadang adalah pusat perbelanjaan,” ungkap Yudhi melansir Padangkita, Sabtu (31/7) lalu.
Penggunaan daun pisang untuk bungkus nasi, tambah Yudhi, disebabkan harga kertas yang mahal.
“Waktu itu kan kertas mahal. Nah dibungkus lah dengan daun pisang,” ujarnya.
Namun seiring waktu berjalan, penggunaan daun pisang untuk membungkus nasi padang tetap dipertahankan. Pasalnya selain mudah dan murah, nasi yang dibungkus dengan daun pisan memberikan aroma tersendiri.
Sehingga bungkus nasi dengan daun pisang sudah menjadi ciri khas nasi padang.
Sementara untuk porsi nasi padang yang jauh lebih banyak saat dibungkus dibandingkan makan di tempat juga punya cerita menarik.
Ada 2 versi cerita dibalik porsi nasi padang tersebut.
Menurut versi pertama, waktu zaman penjajahan kala itu, yang boleh makan di Rumah Makan Padang hanya orang Belanda, bangsawan dan kaum kaya.
Sedangkan yang dibungkus, nasi padang dinikmati oleh para pekerja dan buruh pada saat itu.
Menurut versi kedua, porsi nasi padang yang lebih banyak saat dibungkus adalah bentuk solidaritas pemilik rumah makan kepada pembeli.
Sehingga dengan porsi yang lebih banyak itu nasi padang bisa disantap pembeli bersama keluarganya.
Solidaritas itu semakin tumbuh saat Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi dan pergolakan politik berpuluh-puluh tahun.
Kekinian, kepopuleran nasi padang sudah menjelajah ke sejumlah negera tetangga bahkan sampai ke Eropa.