Heroik! Sosok Wanita Minangkabau yang Jarang Diketahui Pada Tragedi Kecelakaan Kereta Api 1944

KHAZANAH1517 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, SUMBAR – Mungkin banyak di antara kita tidak mengetahui, bahwa tragedi kecelakaan kereta api di Lembah Anai, Sumatra Barat pada 25 Desember 1944 merupakan tragedi kecelakaan yang terparah di Indonesia pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, dan konon menempati posisi nomor tujuh di dunia, sepanjang sejarah kecelakaan kereta api di dunia. Kisahnya redup begitu saja, ia tertimbun dalam ingatan masyarakat kita, dan terlupakan.

Uji coba jembatan kereta api di Lembah Anai, pada tahun 1910.
Sumber : KITLV

Kisah tragis ini, menimbulkan rintihan serta tangisan yang amat mendalam pada masanya terutama bagi masyarakat Sumatra Barat, 200 orang kehilangan nyawannya dan ratusan lainnya mengalami luka-luka, tidak sampai disitu, medan yang sulit menambah ketegangan pada proses evakuasi di masanya. Yudi, pernah berkisah pada suatu waktu, seorang pemuda asal Pariaman, ia menyatakan bahwa kakeknya merupakan salah satu dari korban selamat pada tragedi itu, ia bertutur ketika itu kakeknya masih bayi, dan berumur 6 bulan dan selamat pada tragedi kelam itu. Begitupun juga Sarkawi, ia menjelaskan neneknya yang pada masa itu menekuni profesi sebagai pedagang beras antar pekan (sebutan pasar tradisional dadakan di Minangkabau) juga ikut menjadi korban kecelakaan kereta api tersebut, ia seraya menambahkan, bahwa pada saat kejadian itu Ibunya masih genap berusia 3 tahun.

Adapun terkait kronologi dari kecelakaan tersebut, dari banyaknya informasi yang kita dapatkan dan beredar dari mulut ke mulut. Diantaranya menyebutkan bahwasanya kereta tersebut gagal dalam pengereman. Di samping itu ada juga yang menyebutkan Ketika kereta tersebut melewati jembatan, tiba-tiba jembatan terputus, suara lengkingan kereta terdengar keras disusul oleh suara benda besar yang jatuh, dan akhirnya membuat kereta tersebut mengalami kecelakaan.

Namun yang harus perlu diketahui bahwa jalur kereta tersebut, notabenenya ialah jalur untuk pengangkutan batu bara oleh pemerintahan kolonial Belanda pada masanya, dan ketika pada zaman pemerintahan kolonial Belanda hampir tidak pernah terjadi kejadian kecelakaan kereta dengan korban yang begitu banyak seperti ini, beda hal ketika masa pendudukan Jepang kala itu tengah berlangsung. Namun ada juga yang berkesimpulan kecelakaan ini disebabkan oleh kelalaian Jepang dalam hal perawatan rel / kurang memerhatikan kondisi rel yang akan dilalui kereta bermuatan orang dengan kapasitas tinggi.

Berbicara sosok heroik di balik peristiwa tersebut, tak akan terlepas dengan yang namanya Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, sang reformator Pendidikan Islam yang sekaligus Pejuang Kemerdekaan Indonesia, pada saat kejadian tersebut Rahmah berkata:

“Bawa dunsanak-dunsanak kami itu ke sini. Diniyah Puteri saya jadikan rumah sakit sekarang, kalian semua, anak-anakku, siapkan tempat tidur, kasih bantal, selimut, jika tak cukup, kembangkan tikar, di mana saja, di ruang kelas ini. Tuhan memanggil kita menolong sesama.” Setidaknya itu yang dikatakan oleh Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, pendiri Perguruan Diniyyah Puteri, Padang Panjang.

Rahmah walau bukan dokter tapi ia belajar ilmu kedokteran dari 3 dokter handal Minangkabau, dan bahkan Mak Uwonya juga merupakan seorang bidan pada masa itu.

“Bawa mereka ke sekolah Etek Amah!” Perintah Tokoh Padang Panjang Pada Masa Itu.

Tidak lama setelah itu korban-korban dari kecelakaan tersebut pun datang satu persatu, orang-orang pada masa itu berjalan panjang, nyaris tak putus, memanggul korban kecelakaan yang berdarah-darah, patah-patah, pingsan untuk dibawa dan mendapat pertolongan di Diniyyah Puteri. Rumah sakit darurat di Diniyyah Puteri yang di inisiasi oleh Rahmah itu akhirnya dipenuhi oleh korban kecelakaan kereta api tersebut. Oleh karena hal tersebut ada di antara korban, yang juga dilarikan ke Padang, juga ke Bukittinggi. Hari demi hari, evakuasi tak kunjung selesai. Yang luka parah sudah memenuhi rumah sakit.

lalu diantara mereka yang meninggal dimakamkan dalam satu liang di tanah milik seorang ulama bernama Syekh Adam di Padang Panjang. Di kota ini ada pandam pekuburan, semacam pemakaman umum, untuk orang yang bukan penduduk asli disebut Pakuburan Makam Pusaro Dagang. Siapa saja orang rantau yang meninggal dimakamkan di Pusaro Dagang. Bahkan Syekh Adam yang sangat dihormati itu, menyuruh semua korban yang meninggal dunia, untuk dimakamkan di sana. Masyarakat pun bahu-membahu membawa jenazah ke sana dan pemakamannya disaksikan ribuan orang. Jenazah dikuburkan di satu liang dan kemudian dibuatkan tugunya.

Siapa sebebarnya Rahmah El Yunusiyah? Rahmah El Yunusiyyah merupakan seorang Tokoh Pendidikan Perempuan, dedikasi Rahmah di dunia pendidikan sangatlah luar biasa dan tak terbantahkan, Rahmah El Yunusiyah mempersembahkan semua tenaganya untuk keberlangsungan dan kemajuan bidang pendidikan untuk kaum wanita khususnya di dasarkan pada cita-citanya, bahwa kaum wanita Indonesia harus memperoleh kesempatan penuh dalam menuntut ilmu agar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bertujuan agar kaum wanita sanggup berdikari untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan tanah air. Hal itu diwujudkan dengan pendirian Perguruan Diniyyah Puteri.

Atas bantuan Persatuan Murid-Murid Diniyah School yang didirikan oleh kakaknya, Rahmah mendirikan madrasahnya pada tanggal 1 November 1923. Mulanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu rumah tangga muda. Pelajaran diberikan setiap hari selama 3 jam di sebuah masjid di Pasar Usang, Padang Panjang. Di samping itu, Rahmah juga mulai mengadakan usaha pemberantasan buta huruf bagi kalangan ibu-ibu yang lebih tua.

Selain itu, Rahmah memiliki prinsip dan sikap yang teguh. Ketika Belanda menawarkan bantuan kepada Madrasah Diniyyah Puteri dengan syarat harus berada di bawah kekuasaannya, ia menolak dengan tegas. Dengan alasan tak ingin sistem pendidikannya dibelokkan oleh kolonial Belanda. Selain itu, hal yang menonjol dari Rahmah adalah sikap tanggung jawab. Ia bukan saja memikirkan kemajuan pendidikan murid-muridnya, namun juga keselamatan mereka. Pada saat pendudukan Jepang masuk ke Indonesia, Rahmah mengungsikan seluruh muridnya dan menaggung semua keperluan dari murid-muridnya.

Perhatian Rahmah El Yunusiyah untuk kaumnya memang tidak pernah padam. Ia bercita-cita untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam khusus untuk kaum wanita lengkap dengan sarana dan prasarananya. Cita-citanya ini sebagian telah tercapai. Hal ini terlihat ketika ia wafat, Diniyyah Puteri telah memiliki Perguruan Tinggi dengan satu fakultas, yaitu Fakultas Dirasah Islamiyah. Ia juga bercita-cita mendirikan rumah sakit khusus wanita.

Di bawah kepemimpinan Rahmah, Diniyyah Puteri berkembang pesat. Keberhasilan lembaga ini mendapat perhatian yang begitu besar dan pujian dari berbagai tokoh pendidikan, pemimpin nasional, politikus dan tokoh agama, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal itu terbukti pada tahun 1957 Rahmah memperoleh gelar Syaikhah dari Senat Guru Besar Universitas Al-Azhar Mesir. Dan gelar ini belum pernah dianugerahkan kepada siapapun sebelumnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *