Hal Yang Diperbolehkan Untuk Berdusta

KHAZANAH313 Dilihat

MINANGGLOBAL.ID, Khazanah – Agama Islam menjunjung tinggi nilai kejujuran. Berulang kali Allah perintahkan dalam Al-Qur’an agar umatnya menerapkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Meski telah dilarang, ada kalanya seseorang terpaksa berbohong demi kebaikan. Lantas, bagaimana hukumnya jika hal itu terjadi? Apakah berbohong demi kebaikan dalam Islam diperbolehkan?

Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim No. 4717 “Telah mengabarkan kepadaku Humaid bin ‘Abdur Rahman bin ‘Auf bahwa Ibunya Ummu Kultsum bin ‘Uqbah bin Abu Mu’aith -dan ia termasuk perempuan yang turut hijrah dalam kelompok pertama yang berbaiat kepada Rasulullah SAW bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah bersabda: Orang yang mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, orang yang berkata demi kebaikan, dan orang yang membangkitkan (mengingatkan) kebaikan bukanlah termasuk pendusta.”

Tidak hanya satu hadis saja yang menerangkan boleh berbohong, tetapi di riwayat lain juga diterangkan pada hadis riwayat Abu Daud No. 4275 “dari Humaid bin ‘Abdurrahman dari ibunya Ummu Kultsum binti Uqbah ia berkata, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah SAW memberi keringanan untuk berbohong kecuali pada tiga tempat. Rasulullah SAW mengatakan, “Aku tidak menganggapnya sebagai seorang pembohong; seorang laki-laki yang memperbaiki hubungan antara manusia. Ia mengatakan suatu perkataan (bohong), namun ia tidak bermaksud dengan perkataan itu kecuali untuk mendamaikan. Seorang laki-laki yang berbohong dalam peperangan. Dan seorang laki-laki yang berbohong kepada istri atau istri yang berbohong kepada suami (untuk kebaikan).”

Lebih jelasnya lagi dalam kitab Imam An-Nawawi Syarah Shahih Muslim beberapa ulama yang di antaranya lbnu Syihab berkata, ‘Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal, yaitu: dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami (untuk meraih kebahagiaan atau menghindari keburukan).

Selain itu Al-Qadhi berkata tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama dalam bolehnya berbohong tiga hal ini. Para ulama hanya berbeda pendapat dalam gambaran dusta yang diperbolehkan, ada sebagian ulama menghukumi “dusta secara mutlak”. Dusta yang tidak diperbolehkan adalah dusta yang menimbulkan dampak kemudharatan, seperti dapat menimbulkan masalah dengan orang lain.

Ulama lain tidak membolehkan dusta dan bohong dalam segala hal, seperti Ath-Thabari berpendapat bahwa berbohong yang diperbolehkan adalah kebolehan dalam memutar lidah dan hanya sebagai kiasan, bukan hakikat dari berbohong dan dusta, seperti contohnya seorang suami menjanjikan kepada istrinya perhiasan atau baju dengan berniat dalam hatinya jika Allah Ta’ala memberinya rezeki. Berbeda jika suami tidak memberikan hak istri maka ini adalah haram berdasarkan kesepakatan kaum muslim.

Seperti halnya dalam perperangan. Diperbolehkan seseorang mengatakan kebohongan kepada musuhnya seperti perkataan “telah mati pemimpin tertinggi kalian” dan juga seperti “besok kami akan mendapatkan bantuan” kalimat ini diperbolehkan dalam berdusta dikarenakan pendengar hanya akan memahami makna atau arti dari ucapan untuk memuaskan atau sebagai kiasan.

Uraian singkat ini menjelaskan bahwa sejatinya berbohong itu dilarang dalam agama Islam dibuktikan dengan banyaknya dalil Al-Qur’an dan Hadist, tetapi pada situasi tertentu boleh untuk berbohong demi kebaikan dalam tiga keadaan antara lain dusta dalam peperangan, untuk mendamaikan pihak yang bertikai, dan suami terhadap istri dan sebaliknya yang bertujuan meraih kebahagiaan, maka diluar konteks hadis di atas maka dilarang untuk berbohong. Tentu saja kebohongan itu membawa kepada kemunafikan dan juga merusak tatanan kehidupan. (RSP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *