Pakar sejarah ekonomi terkemuka Witold Kula melalui tulisannya pernah membicarakan tentang manusia ekonomi. Witold dalam tulisannnya, mengilustrasikan tentang manusia golongan bangsawan Polandia pada abad 17 tidak peduli kata hemat dan berpikir rasionalitas tentang laba. Yang terpenting bagi kaum bangsawan saat itu, berbelanja untuk dipakai atau dikonsumsi.
Ada sebuah adagium yang beredar di tengah masyarakat Kuantan Singingi, Provinsi Riau secara umum masyarakat suku Melayu asli, bunyinya begini, “biarlah rumah cunduang, asalkan sambal lai bominyak”. Kata cunduang berarti condong atau hampir roboh atau miring. Dan sambal bominyak berarti ciri khas masakan Melayu yang memakai banyak rempah dalam masakannya.
Ungkapan itu beredar luas dan hapal oleh kebanyakan masyarakat Melayu. Walaupun sebenarnya ungkapan itu tidak dapat dibenarkan bahwa benar-benar lahir dari orang Melayu asli, atau pun orang Melayu semuanya demikian. Hal tersebut dikarenakan belum adanya bukti kuat secara tertulis tentang ungkapan itu, dan juga publikasi penelitian.
Kendati demikian, mari singkirkan dahulu masalah benar atau tidak, siapa yang penggagasnya, dan apa sebab munculnya ungkapan tersebut. Sejenak kita alihkan kepada hal yang lebih substansial tentang makna yang terkandung dalam ungkapan.
Ungkapan “biarlah rumah cunduang, asal sambal lai bominyak”, seakan menjadi miniatur dalam kehidupan masyarakat secara umum.
Mengambil istilah para sosiolog terdahulu, melihat dengan kacamata “mikroskop sosial”, menganalisis kecenderungan secara universal, setidaknya dari ungkapan telah menjelma atau diterjemahkan menjadi sebuah pandangan ataupun acuan dalam berkehidupan bagi banyak orang Melayu.