MINANGGLOBAL.ID, KHAZANAH – Siang itu, aku berada di antara mahasiswa yang memenuhi lokal kuliah yang jauh lebih ramai dari biasanya. Bahkan sebagian mahasiswa terpaksa harus mengambil kursi dari lokal lain karena semua kursi telah penuh terisi.
Apa pasal? Kami sedang menunggu kehadiran sang guru besar; Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin yang akan memberi kuliah hari itu. Kuliah-kuliah pak Amir, demikian beliau biasa disapa, memang selalu saja menarik, bernas dan mencerdaskan. Ibarat kata, apapun yang keluar dari mulut pak Amir pasti isinya daging semua. Maka kuliah-kuliahnya pun tidak saja ramai dihadiri mahasiswa tetapi juga oleh banyak kalangan dosen.
Begitu pula dengan sidang munaqasyah skripsi yang menghadirkan pak Amir sebagai salah seorang penguji. Selalu saja penuh sesak dihadiri mahasiswa. Mereka rela berdesakan dan berdiri tidak kebagian tempat duduk, asal bisa kuliah dengan pak Amir. Karena mahasiswa merasa selalu mendapatkan tambahan asupan pengetahuan baru dan up to date dari sang guru besar hukum Islam itu.
Demikianlah sekilas flash back suasana kampus parak pisang IAIN Garegeh Bukittinggi, sekarang UIN, pada tahun 1980 an. Dimana pak Amir selaku dosen yang juga Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, merupakan The Raising Star waktu itu.
Aku termasuk orang yang bersyukur dan beruntung pernah berkesempatan menjadi murid pak Amir, mulai dari S1, S2, dan S3. Dari pak Amir lah aku mulai dan semakin dapat merasakan renyah dan nikmatnya belajar Ushul Fiqh. Dengan penuturan dan penjelasannya yang runut aku menikmati bagaimana sillogisme Aristoteles bertransformasi menjadi qiyasnya imam Syafi’i. Di tangan pak Amir, materi Ushul Fiqh tidak lagi terasa garing dan melangit. Tetapi dengan pemaparannya yang sistematis dan mantiqi bahasan Ushul Fiqh terasa renyah dan membumi. Bahkan bak kata anak milenial, kadang terasa seperti dingin-dingin empuk.
Pak Amir adalah sedikit dari ulama ahli Ushul Fiqh Nusantara yang tidak saja menguasai dengan baik naskah klasik, tetapi juga secara sophisticated mampu mengorelasikanmya dengan persoalan-persoalan dunia kontemporer.
Hal ini diamini oleh orang-orang yang mengenal dan pernah berinteraksi secara akademis dengan pak Amir. Prof. Dr. Atho Mudzhar, yang sangat menghormati pak Amir sebagai gurunya, misalnya, mengenang pak Amir sebagai seorang yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan kajian hukum Islam di Indonesia. Demikian pula Prof. Masykuri Abdillah, mahasiswa yang belajar ilmu Mantiq dari pak Amir di PTIQ Jakarta, menyebut kalau sampai hari ini, buku Ushul Fiqh pak Amir adalah buku Ushul Fiqh berbahasa Indonesia terbaik dan terlengkap dari yang pernah ada. Prof. Muhammad Amin Suma, guru besar dan ketua Himpunan Ilmuan dan Sarjana Syari’ah Indonesia (HISSI) pusat, menempatkan dan mengenang gurunya ini sebagai sosok yang amat menguasai dengan mumpuni rumpun ilmu-ilmu syari’ah.
Dan yang tak kalah menarik adalah testimoni dari Dr. Zulkarnani, asisten pak Amir di pascasarjana UIN Padang beberapa tahun terakhir. Buya Zul, sapaan akrab beliau, demikian terkagum-kagum dengan penguasaan pak Amir terhadap naskah-naskah klasik Ushul Fiqh. Pak Amir, sebut buya Zul, mampu menangkap dan mencerna teks-teks itu dengan jitu dan nyaris sempurna; tidak saja yang tersurat dan tersirat bahkan yang tersuruk sekalipun.
Tetapi lebih dari semua, kesan yang jauh lebih mendalam adalah apa yang dialami dan pernah dirasakan oleh Prof. Dr. Ismail, M. Ag, guru besar UIN Bukittinggi. Bagi Ismail, yang menjadikan pemikiran pak Amir sebagai objek penelitian disertasinya, pak Amir bukan saja seorang guru tetapi juga seorang “bapak”. Hubungan keduanya tidak lagi berhenti sebatas dan bersifat intelektual-rasional tetapi sudah merambah jauh menjadi lebih bersifat personal-emosional.
Melalui beberapa kali wawancara yang mendalam dengan pak Amir, Ismail tidak saja telah memahami kontribusi pemikiran Amir Syarifuddin dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Tetapi juga telah berhasil menemukan bagaimana proses awal tumbuh kembangnya pemikiran tersebut berikut orang-orang dan kondisi sosial- intelektual yang mengitarinya. Pemikiran Ushul Fiqh pak Amir, kata Ismail, ternyata banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh dua orang gurunya: Prof. Mukhtar Yahya dan Abdul Hamid Hakim. Dua tokoh ulama Ushul Fiqh tanah air yang terkenal itu. Khusus dari nama tokoh terakhir inilah kemudian dapat dilacak dan ditemukan ketersambungan sanad pemikiran hukum Islam Amir Syarifuddin dengan para ulama Nusantara generasi sebelumnya; Dr. Abdul Karim Amrullah, Syekh Taher Djalaluddin, dan Syech Ahmad Chatib Al- Minangkabawi.
Prof. Ismail tentu saja juga tidak pernah lupa bagaimana perhatian sebagai seorang “bapak” yang diberikan pak Amir sehubungan dengan peristiwa STAIN Bukittinggi yang bersejarah itu. Sehingga hubungan keduanya berkembang dan tidak lagi sebatas guru, tetapi telah menjadi seorang “bapak” tersebut. Maka tidaklah mengherankan kalau kepergian sang guru besar Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, pada 27 Desember 2024 yang lalu meninggalkan duka dan rasa kehilangan yang sedemikian mendalam bagi banyak orang, khususnya orang-orang yang pernah berinteraksi secara akademis dengannya, wa bil khusus murid-muridnya.
“Selamat jalan Sang Maha Guru…”, semoga manfaat ilmu yang telah ditebarkan menjadi amal yang mengalirkan pahala terus menerus dan tidak pernah terputus. Aamiin.