MINANGGLOBAL.ID, Khazanah – Syubhat merupakan suatu kata yang tak asing dalam Islam, yang menjelaskan tentang keadaan yang samar dari kehalalan dan keharaman dari suatu perkara. Syubhat juga bisa di pahami sebagai kehancuran berpikir sehingga segala sesuatu dianggap benar tanpa memperhatikan mudarat yang menimpanya. Hal itu biasanya muncul akibat ketidaktahuan yang biasanya dialami oleh orang-orang awam.
Nabi Muhammad sallahu alaihi wasallam bersabda “Yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas pula. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat. Yang tidak diketahui oleh sebagian besar manusia. Maka barang siapa yang meninggalkan yang syubhat, maka dia telah membersihkan diri dari agama dan kehormatannya” (HR Bukhari no. 52 dan no. Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir ra).
Lalu bagaimana bersikap ketika menghadapi perkara syubhat? Yaitu dengan menjaga diri atau meninggalkan perkara syubhat sebagai bentuk kehati-hatian atau sikap wara’. Sebab perkara syubhat memiliki kecenderungan pada hal yang haram, yang apabila sering melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
Meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan, adalah pertanda ketakwaan seseorang. Menutup pintu terhadap perbuatan haram serta sarana dan cara ke arah tersebut adalah salah satu sikap yang sangat mulia. Berhati-hati dalam masalah agama dan kehormatan serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk.
Dalam Islam, perkara syubhat ini terbagi menjadi tiga jenis, menurut ulama mazhab Syafi’i, Muhammad bin Ibrahim Ibnu Mundzir an-Naisaburi (242–318 H). menjelaskan jenis-jenis tersebut:
Pertama, sesuatu yang haram bercampur dengan yang halal. Misalnya, buah hasil curian termasuk makanan haram. Lalu, buah ini tercampur dengan sekeranjang buah halal lainnya.Dalam hal ini, makanan haram yang bercampur dengan makanan halal, serta tidak bisa dibedakan, buah mana yang hasil curian [haram] dan buah yang halal, maka ia tergolong perkara syubhat.
Kedua, perkara halal, lalu muncul keraguan. Misalnya, seseorang sudah berwudu untuk salat, lalu ia ragu apakah sudah batal atau belum. Dalam kasus ini, perkara syubhatnya tidak berpengaruh apa-apa karena keraguan itu muncul atas hal yang pasti (sudah berwudu). Karenanya, ia dapat tetap salat dan ibadahnya tergolong sah.
Ketiga, perkara yang belum jelas status halal atau haramnya. Misalnya, ketika seseorang bepergian ke negara atau wilayah non-muslim, kemudian ia makan di restoran atau warung makan milik penduduk asli sana. Jika ia tidak bertanya, maka ia tidak tahu status makanan tersebut. Jika makanan itu daging, belum tentu hewan tersebut disembelih sesuai syariat Islam, atau bisa jadi juga daging yang haram.
Namun jika telanjur memakan makanan yang ragu-ragu hukumnya, Syekh Afdhaluddin al-Azhari menyarankan doa supaya terhindar dari dosa Syubhat. Ya Allah jika makanan yang saya makan ini halal, maka luaskanlah rezekinya (orang yang memberi makan) dan balaslah dengan kebaikan. Dan jika makanan ini adalah haram atau syubhat maka ampunilah aku dan dia, dan jauhkanlah para penerima konsekuensi (atas dosanya sendiri) dariku kelak di hari kiamat dengan kasih sayang-Mu, wahai Allah yang Maha Penyayang di antara para penyayang.
Perkara syubhat sebaiknya ditinggalkan karean menimbulkan keragu-raguan, selalulah berserah diri kepada Allah swt dalam melaksanakan kegiatan atau menyelesaikan perkara agar terhindar dari syubhat, apabila telah terjadi perkara syubhat hendaklah selalu bertaubat kepada Allah swt yang maha pengampun. (RH)