Antara Budaya dan Modernitas “Ketika Petatah Petitih Menjadi Budaya Amnesia di Kalangan Anak Muda”

Penulis: Khairini

MINANGGLOBAL.ID, SUMBAR – Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dihuni 360 suku di dalamnya. Salah satunya suku Minangkabau, merupakan kelompok suku asli Nusantara yang menyebar sampai ke beberapa daerah meliputi, seluruh daratan Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, pantai barat daya Aceh dan Negeri Sembilan di Malaysia.

Suku Minangkabau memiliki tradisi dan adat istiadat tersendiri. Oleh karena itu dalam setiap rangkaian kehidupan, masyarakat suku Minangkabau menjunjung tinggi tradisi, budaya dan adat istiadat yang menjadi eksistensi suku Minangkabau tersebut. Tetapi, anehnya dalam sebuah refleksi, seiring gerusan zaman sudah banyak tradisi, budaya dan adat istiadat perlahan terlupakan, terutama di kalangan anak muda. Dimana ketika Petatah-Petitih menjadi budaya amnesia bagi anak mudanya yang terkontaminasi arus modernitas.

Budaya amnesia merupakan fenomena terlupakannya aspek-aspek warisan budaya seperti tradisi, nilai budaya, adat istiadat hingga praktik kebudayaan. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor diantaranya modernisasi, globalisasi atau revolusi budaya yang begitu cepat terjadi. Pertemuan antara budaya tradisional yang begitu mengakar kuat dengan arus modernitas yang begitu cepat, meyebabkan menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam merawat tradisi-tradisi yang ada.

Budaya amnesia sudah terjadi kepada mayoritas anak muda Minangkabau di zaman sekarang, dimana budaya Petatah-Petitih yang mempunyai nilai seni tinggi dalam berucap, serta memiliki ciri khas unik dan penuh dengan kiasan dan majas, kini mulai memudar dan terlupakan begitu saja seiring perkembangan arus modernitas.

Satu sisi, anak muda dituntut harus mengikuti perkembangan zaman yang dinamis, bukan berarti melupakan adat istiadat khas Minangkabau yang telah dirawat oleh pendahulu secara turun temurun. Petatah-Petitih khas Minangkabau merupakan salah satu kekayaan budaya yang harus dirawat, namun kenyataannya Petatah-Petitih sudah mulai ditinggalkan generasi muda dan lena dalam arus modern. Petatah-Petitih Minangkabau mengatakan, “bakarih sikati muno, patah lai basimpan alun ratak sabuah jadi tuah, jikok dibukak pusako lamo, dibangkik tareh nan tarandam lah banyak ragi nan barubah”. Wujud maksudnya, sudah banyak tradisi dan adat istiadat mulai memudar (berubah) akibat perkembangan zaman. Sudah lumrah, jika banyak ditemukan anak muda Minangkabau tak bisa Petatah-Petitih bahkan sekedar memahami maknanya saja pun banyak yang tidak bisa, bahkan ironisnya, bahasa gaul impor dari daerah seberang yang mereka senangi dalam bertutur sehari-hari. Sayang, Petatah-Petitih tradisi khas Minangakabau mustinya dirawat dan dijaga agar tidak hilang begitu saja, namun apalah daya, arus modernitas menenggelamkan mereka dalam asyik-masyuk kekinian dan lupa mempertahankan budaya tradisi yang telah ada turun temurun.

Budaya amnesia ini jelas tergambar dalam Petatah-Petitih Minangkabau, seperti orang-orang tua dahulu bertutur, “alah limau dek binalu, hilang pusako dek pancarian”. Maknanya budaya asli sebuah suku atau bangsa hilang atau tergerus oleh budaya lain (baru) yang datang menyerbu. Dimana, banyak kalangan anak muda Minangkabau lebih menerima budaya baru dan meninggalkan budaya lama. Memang, perkembangan zaman  tidak bisa dicegah, tetapi alangkah lebih indah apabila kita tetap bijak dalam menyeimbangkan antara budaya lama dengan budaya baru. Sesungguhnya bangsa yang besar itu adalah bangsa yang bisa menjaga budayanya.

Sebagai generasi penerus (anak muda Minangkabau) mustinya bisa menyeimbangkan dalam merawat warisan tradisi dan budaya dalam mengikuti perkembangan zaman yang begitu cepat. Ada kata bijak Minangkabau mengatakan, “alah bauriah bak sipasin, kok bakiek alah bajajak, habih tahun baganti musim, sandi adat jangan dianjak”. Walaupun tahun silih berganti, musim selalu bertukar, walaupun zaman terus berkembang tetapi pegangan hidup adat dan tradisi jangan dilepas (dimusnahkan). Karena pada hakikatnya adat adalah sebuah pedoman hidup, begitulah kira-kira makna kata bijak tersebut.

Tak berlebihan rasanya, untuk anak muda Minangkabau, tetaplah rawat adat dan tradisi seperti Petatah-Petitih Minangkabau bilang, “Baribu nan tidak lipuah, jajak nan indak hilang”. Artinya, sebuah ajaran yang tetap berkesan, yang diterima turun temurun. Karena jika sebuah budaya tidak dijaga, maka budaya tersebut akan hilang perlahan, “baaitu barieh balabiahnyo, dari luhak maso dahulu, kok tidak disigi dipanyato, lipuah lah jajak nan dahulu”. Maksudnya, jika adat Minangkabau sebagai kebudayaan daerah jika tidak dibina dan dikembangkan, maka hilanglah kebudayaan itu dengan sendirinya, karena dipengaruhi oleh kebudayaan baru dan kebudayaan lain. (Kh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *