MINANGGLOBAL.ID, OPINI – Peralihan pertemuan ke ruang virtual semestinya tidak menggeser nilai-nilai etik sebagai buah dari adab berkomunikasi dan berinteraksi. Idealnya begitu, meski kenyataannya berbeda.
“Malas ah,ndak menarik acaranya”, “Kok seperti ini pembicaranya”, ” wisuda online yang membosankan, cabut dulu”. Kalimat-kalimat seperti itu jangan dikira tak ada muncul dilayar zoom yang dibagikan ke semua orang (share to everyone).
Ada pula yang menulis ungkapan-ungkapan tak relevan lainnya yang juga di-share ke khalayak di majelis zoom itu. Ada yang bernada seloroh, atau bahkan mencemooh. Ada yang sesuai konteks, tapi tak sedikit yang ngawur. Celakanya, si penulis pesan bersikap abai bahwa ada banyak mata yang akan membacanya.
Kalimat-kalimat seperti itu tak ubahnya seperti orang membuat kebisingan saat pertemuan di alam nyata. Ghibah virtual juga tak jarang dilakukan oleh peserta dalam pertemuan di dunia maya itu. Caranya melalui chat pribadi. Definisi ghibah alias gunjing apa pun bentuk dan caranya tetaplah sama, yaitu membicarakan tentang seseorang kepada orang lain yang apabila didengar oleh orang yang dibicarakan itu, hatinya sakit. Ghibah adalah cara asik menambah saldo dosa diri sendiri dan mengurangi dosa orang yang dighibah. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Berikutnya soal adab meninggalkan pertemuan di ruang virtual itu. Terkadang saat pertemuan tengah berlangsung ada yang keluar tanpa meninggalkan pesan. Tindakan seperti itu banyak atau sedikit berpotensi menggores hati narasumber dan meninggalkan “aroma” kurang nyaman di ruangan. Rasakanlah ketika Anda berbicara, lalu orang meninggalkan Anda tanpa pesan. Tentu meminta izin atau meninggalkan pesan akan lebih nyaman dirasakan dan indah dilihat, dibanding “mancilun” alias pergi dengan diam-diam.
Di atas semua itu, semakin tak terbantahkan bahwa ADAB berada di atas ilmu.
Oleh: Irwandi Nashir (Dosen IAIN Bukittinggi)